Fenomena sebutan nama-nama hewan seperti “babi”, “monyet” hingga “anjing” selama ini seringkali digunakan masyarakat sebagai bahan candaan atau umpatan. Menurut pengamat hukum, penggunaan kata-kata tersebut bisa saja dianggap kasar dan menyinggung, tergantung pada konteksnya, nada suara dan hubungan antara individu. Karena nama-nama hewan ini, kadang juga digunakan untuk bercanda semata tanpa maksud menghina.
Beberapa pengamat hukum menjelaskan, bahwa konteks dan maksud penggunaan nama-nama hewan tergantung pada penafsiran korban. Jika dianggap bercanda, mungkin tidak diadukan, tapi kalau dianggap serius, korban punya hak untuk mengadukannya.
Sebab, pasal ini merupakan delik aduan. Artinya, korban harus membuat pengaduan ke polisi, penyelidik atau penyidik. Tindak pidana delik aduan ini, baru diproses jika diadukan oleh korban. Dan, bila korban ingin membuat pengaduan, maka terlebih dahulu harus mengumpulkan beberapa bukti, seperti rekaman atau saksi-saksi.
“Dalam praktiknya, memang jarang ditemukan adanya perkara penghinaan ringan yang diproses secara hukum. Kalaupun menggunakan jalur hukum, penyelesaian kasusnya tidak selalu berakhir pidana penjara atau denda, melainkan melalui restorative justice (RJ) atau mendamaikan antara pelaku dan korban,” kata Fickar.
Nah, dengan pemberlakuan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) pada awal tahun 2026, masyarakat diminta lebih bijak dalam berkomunikasi, agar tidak terjerat masalah hukum.
Karena ujaran memaki atau menghina dengan menggunakan sebutan nama-nama hewan, baik di dunia nyata maupun di media sosial, berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.*









Discussion about this post