Bahari di sini bermakna keindahan laut, dan sebutan Teluk Atong Bahari mungkin bermakna Atong sang pemilik keindahan laut. “Ya begitulah, saya juga tak paham, bagi saya nama yang diberikan teman itu bagus saja he.he..” kata Atong lagi terkekeh.
Tahun 1990 an sebelum Atong masuk ke bisnis wisata, bapak empat anak ini pedagang sembako, kehidupan masyarakat di daerahnya terbilang susah, pekerjaan sulit didapat, sebagian besar kerja calo, menebang kayu di hutan yang masih belantara untuk dijual ke Malaysia. Kekhawatiran hutan akan habis jika ditebangi terus, mereka juga tak peduli, katanya pekerjaan itu dilakukan demi perut, sementara pekerjaan di dalam negeri tak ada.
Atong pun tak bisa berbuat banyak, memang pekerjaan menebangi hutan dan dijual ke negara tetangga adalah pekerjaan melanggar hukum, namun mereka juga akhirnya menghentikan pekerjaannya ketika hutan sudah mulai habis, ekonomi pun lumpuh. Imbasnya toko sembako Atong tutup.
Dia pun berpikir, bagaimana caranya untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Akhirnya Atong berinisiatif untuk menggarap lahan yang dimilikinya, yang kebetulan berada di tepian pantai. Lahan seluas itu, sangat sayang jika tidak dikelola. Namun untuk mengelola sendirian, Atong ternyata tak punya cukup modal. Dia hanya punya duit sekira ratusan juta Rupiah saja untuk menggarap lahan nan luas itu, dibersihkan dan bikin tempat makan atau santai dan dinamai Pondok Wisata.
Tahun 1990an bisnis wisata Atong dimulai, dengan mengajak siapa saja yang mau menggarap lahan yang telah disediakannya, sistemnya bagi hasil. Lahan tersedia, mereka bangun apa yang ingin dibangun. Maka berdirilah bangunan-bangunan penginapan dengan arsitektur alam, semua menggunakan kayu.
Ada bentuk seperti rumah panjang yang berisi empat kamar, ada juga bangunan berisi 19 kamar, tiga kamar dan satu model lagi dua kamar dengan fasilitas dan harga berbeda tentunya. Yang biasa saja tanpa kipas dan pendingin paling murah ditarif Rp 250.000 per malam, hingga yang termahal Rp 1 juta dengan fasilitas AC.
Airnya tentu bukan air leding, melainkan air gunung yang ditampung, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penginapan. Begitu pula penerangannya, ketika itu listrik belum masuk ke sini, yang ada genset, maka jam penyalaan lampu dibatasi mulai pukul enam sore hingga enam pagi saja.
“Saya membangun ini hanya bermodal semangat dan kemauan untuk berjuang. Itu saja! Kemampuan saya terbatas, jadi saya serahkan saja siapa yang mau bangun, hayo kita bangun bersama,” ucap Atong. **
Penulis Yuli.S
Artikel ini telah terbit di Tabloid Matra Bisnis.
Discussion about this post