EKONOM Kalimantan Barat, Prof DR Eddy Suratman menyorot dana bagi hasil sawit, yang disebutnya harus jelas basis perhitungannya, apakah luas lahan, apakah produksi, apakah ekspor atau gabungan dari itu.
“Ini sudah menjadi tuntutan provinsi-provinsi penghasil sawit. Pertemuannya sudah beberapa kali sejak Februari 2022. Saya kira pertemuan penghasil itu, merupakan ujung dari keinginan lama dari provinsi penghasil sawit, untuk ikut menikmati pendapatan dari hasil sawit,” ucap Eddy Suratman kepada jurnalis yang tergabung dalam Fojekha (Forum Jurnalis Ekonomi Khatulistiwa).
Menurut Eddy, selama ini penghasil sawit banyak mengalami eksternalitas negatif, di mana banyak jalan yang rusak akibat angkutan TBS atau CPO, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari situ. Makanya mereka bersepakat dan mencari masalahnya dari mana.
“Kalau bagi hasil pajak kan jelas, pajaknya jelas, dapat uang dibagi. Kalau lihat pajak penghasilan itu, dari 100 persen dikumpulkan pemerintah, 80 persen ditahan pusat, 20 persen dikembalikan ke daerah. Dari 20 persen itu, 8 persen ke provinsi dan 12 persen ke kabupaten kota. Lha bagi hasil sawit ini belum jelas,” ucap Eddy.
Dia menyebut, membaca usulan dari daerah penghasil sawit, bahwa mereka berharap dari bea keluar dan dari pungutan ekspor, itu jelas ada uangnya. Bea keluar dipungut oleh Bea Cukai dan pungutan ekspor dipungut oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak), jika digabungkan totalnya berapa per tahun.
Pengamat ekonomi ini mencontohkan, misalnya nilainya Rp 60 triliun, maka berapa persen yang mau dibagikan. Harus ada perhitungan basis bagi hasil atau cara membaginya. Berapa yang ditahan pusat, berapa ke kabupaten/kota dan harus dipertegas lagi, daerah penghasil itu siapa.
“Kalau pengusaha tertentu itu punya sawitnya 50 hektar saja, sudah bisa jadi daerah penghasil atau siapa. Definisi ini harus jelas,” tegas Eddy.
Menurut dia, yang menikmati eksternalitas negatif bukan hanya daerah penghasil saja, yang bukan penghasil pun jalannya rusak juga. Kalau Kalbar itu bagi hasilnya untuk jalan, baik provinsi maupun kabupaten kota, yang terkena dampak negatif dari pengangkutan TBS maupun sawit.
“Karena itu harus ada perhitungan, sekian persen untuk kabupaten penghasil, sekian persen untuk daerah lainnya, sebagai pemerataan supaya ada menutupi kekecewaan, bahwa mereka pernah menikmati eksternalitas negatif,” ucapnya.
Eddy mengatakan, setelah jelas perhitungannya, juga harus dibicarakan lagi, bahwa uang ini boleh digunakan untuk apa, itu akan diatur dalam PP yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Menteri Keuangan.
“Uangnya boleh untuk apa. Apakah boleh hanya untuk perbaikan jalan atau boleh yang lain, misalnya dibagikan kepada petani atau apa. Itu akan diatur semua,” ujarnya.
Soal penghitungan dana bagi hasil ini, menurut Eddy Suratman, harus betul-betul diperhatikan dan disepakati, jangan sampai salah hitung. Karena untuk Kalbar sendiri yang selama ini ekspornya dikirim melalui Riau atau Sumatera Utara, jangan sampai dirugikan, sebab ekspor Kalbar seolah-olah produksi dari daerah lain.
Surat Gubernur Kalbar Sutarmidji ke Kemenkeu menyebutkan, bahwa luas lahan Kalbar yang begitu besar, berproduksi setahun sekira 6,6 juta ton. Bisa diasumsikan, 20 persennya digunakan untuk lokal, 80 persennya saja yang diekspor, dengan harga asumsi terendah yakni 1.500 dolar, maka potensi kontribusi Kalbar pada penerimaan devisa negara bisa di angka Rp 115 triliun per tahun.
Discussion about this post