Lebanon adalah negara berikutnya yang saat ini sengsara. Seperti Sri Lanka, Lebanon juga menderita, karena mata uangnya jatuh hingga 90 persen. Belum lagi, lonjakan inflasi, yang berakibat pada krisis pangan dan krisis energi.
Lebanon menderita krisis ekonomi, akibat perang saudara yang panjang, yang menghambat pemulihan negaranya dan disfungsi pemerintah, serta serangan teror. Parahnya lagi, Lebanon juga gagal membayar utang mereka senilai US$90 miliar. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap PDB.
Bank Dunia menyebut, krisis ekonomi Lebanon menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
Myanmar juga mengalami krisis. Pandemi covid-19 dan ketidakstabilan politik menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Myanmar dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran. Ekonomi Myanmar langsung terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu, dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka, karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi. Situasi di Myanmar semakin tak terkendali. Bahkan, Bank Dunia tak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
Pakistan juga terancam krisis ekonomi, usai lonjakan harga minyak mentah yang membuat kenaikan harga bahan bakar dan harga-harga lainnya. Inflasinya pun meroket jauh lebih dari 21 persen.
Mata uang rupee Pakistan sontak merosot 30 persen terhadap dolar AS pada tahun lalu, dan cadangan devisa turun menjadi hanya US$13,5 miliar atau setara dua bulan impor.
Saat ini, Pakistan tengah meminta bantuan IMF untuk mencairkan dana talangan US$60 miliar. “Risiko ekonomi makro Pakistan sangat condong ke bawah,” tulis Bank Dunia memperingatkan.
Sementara negara Turki saat ini juga tengah terjebak dalam krisis, setelah inflasi mencapai lebih dari 60 persen. Mata uang lira Turki menukik ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS sejak tahun lalu.
Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, gagal membawa Turki ke luar dari krisis.
Di sisi lain, utang luar negeri Turki pun sudah menembus 54 persen dari PDB negaranya. Tingkat yang cukup mengkhawatirkan, mengingat utang pemerintahnya mendominasi.
Ada lagi negara Zimbabwe yang pernah menyandang status hiperinflasi pada 2008, ketika inflasinya mencapai 500 miliar persen. Kekhawatiran ini meningkat karena inflasi saat ini sudah menyentuh angka 130 persen.
Masalah ekonomi Zimbabwe sudah menahun dan semakin parah karena korupsi, rendahnya investasi yang masuk, dan tumpukan utang.
Ironisnya, warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang negara mereka sendiri, dan memilih menyimpan uang dalam bentuk dolar AS. ** berbagai sumber
Discussion about this post