Sri Lanka pun diserang di tiga front; krisis energi akibat harga BBM yang melambung tinggi, krisis pangan akibat gejolak harga dunia serta melonjaknya harga pupuk yang memangkas produksi pertanian untuk kemudian melonjakkan harga pangan, dan krisis kesehatan akibat 80 persen kebutuhan produk kesehatan negeri ini yang dipenuhi dari impor terganggu krisis rantai pasokan akibat pandemi dan perang di Ukraina.
Krisis-krisis itu terjadi tatkala Sri Lanka tak punya cukup uang untuk belanja, bahkan untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo.
Utang luar negeri Sri Lanka sendiri sangat besar, yang sampai Desember 2021 mencapai 50 miliar dolar AS sampai-sampai neraca transaksi berjalan pun minus 1,13 miliar dolar AS.
Negara yang tengah merundingkan lagi utang luar negerinya itu, termasuk dengan China yang mengambil porsi 15 persen dari total utang luar negeri Sri Lanka, masuk perangkap utang.
Kemampuan Sri Lanka dalam membiayai ekspor pun semakin mengecil di mana sampai April lalu hanya memiliki cadangan divisi 50 juta dolar AS yang hanya cukup untuk beberapa hari saja.
Barang-barang pokok termasuk minyak dan obat-obatan tak lagi tersedia di pasar, saat bersamaan bank sentral terus mencetak uang ketika banyak barang tak tersedia di pasar sampai hiperinflasi pun mengancam negeri itu.
Rakyat negeri yang beberapa bulan sebelumnya hidup sejahtera pun tiba-tiba mendapati dirinya tak bisa membeli apa-apa. Nilai uang menjadi tak ada artinya ketika semua produk menjadi amat mahal dan sangat sulit didapat.
Rakyat tak tahan, marah, lalu menggelar unjuk rasa memprotes Gotabaya dalam menangani ekonomi negara. Fatal bagi rezim, Mahinda sang perdana menteri malah menjawab demonstrasi damai dengan unjuk rasa tandingan, sampai menelan korban jiwa.
Membutakan Negara
Rakyat yang lapar menjadi semakin murka. Demonstrasi membesar dan berubah beringas sampai rumah anggota keluarga Rajapaksa diserang hingga beberapa dari mereka terpaksa mengungsi ke markas militer.
Mahinda sendiri mundur dan bahkan dipaksa meninggalkan rumahnya jam 4 dini hari karena protes semakin brutal.
Satu per satu anggota keluarga Rajapaksa mundur ketika suasana negara semakin buruk, termasuk saat dinyatakan gagal membayar utang luar negeri (default) akhir Mei lalu yang baru kali ini terjadi sepanjang sejarah negeri itu.
Nepotisme yang akut telah mengamputasi kemampuan negara dalam menaksir dampak dinamika global ketika volume utang begitu menggunung dan ketergantungan kepada impor demikian tinggi.
Nepotisme juga membuat suara selain rezim, sekalipun kritik konstruktif, dianggap sebagai anti-rezim, dicibir sebagai hatter, ketika di sisi lainnya nepotisme menyuburkan mental ‘asal bapak senang’ dan penjilat.
Situasi ini membuat “alarm krisis” tak berbunyi manakala gejala bakal dihantam gelombang krisis sudah terasa jauh-jauh hari.
Sri Lanka pun tak bisa menjejak gejala salah kelola ekonomi dan disalokasi anggaran serta belanja negara yang mengandalkan utang untuk membangun sektor-sektor yang ternyata tak menguntungkan seperti pelabuhan internasional Hambantota yang akhirnya disewakan selama 99 tahun kepada China pada 2017.
Selama 25-30 tahun terakhir, kata Harini Amarasuriya dari Partai Janatha Vimukthi Peramuna, keputusan ekonomi di Sri Lanka tak didasari analisis ekonomi, melainkan oleh kickback dan komisi.
Negeri yang dulunya berpendapatan per kapita di atas Indonesia dan memiliki sistem ekonomi tersehat di Asia Selatan pun jatuh dalam kubangan krisis.
Betul, keluarga Rajapaksa telah memandu Sri Lanka mengakhiri perang saudara dan membangkitkan negeri itu sampai dunia sempat menyanjung negeri ini sebagai contoh bagaimana perekonomian nasional seharusnya dikelola.
Namun, setelah rezim menjadi demikian lebih peduli kepada pujian dan berhasrat melibatkan sebanyak mungkin anggota keluarga dalam mengurus negara, sistem kekuasaan menjadi demikian korosif dan koruptif persis pepatah ‘power tends to corrupt’.
Lain dari itu, nepotisme telah meniadakan proses checks and balances yang juga amat penting dalam mendorong negara tetap kritis dalam menaksir dampak situasi global terhadap sistem nasional, apalagi era ini dunia semakin terkait satu sama lain.
Dinamika global yang tak bisa dikendalikan sistem domestik ini sendiri membuat krisis di Sri Lanka menjadi semakin parah, karena nepotisme membuat negara buta dalam melihat dengan baik dinamika eksternal dan dampak-dampaknya.** (Antara)
Discussion about this post