Oleh: Wigih Prasetyo Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Kalimantan Barat*)
Pemerintah kembali menyoroti besarnya tax gap atau selisih antara potensi pajak dan penerimaan aktual. “Tax gap kita masih signifikan. Inilah yang ingin kita kejar melalui reformasi administrasi dan peningkatan kepatuhan,” kata Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dalam sebuah forum kebijakan yang dikutip dari situs resmi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), 2025.
Dampak ke Penerimaan Negara
Besarnya tax gap membuat tekanan terhadap penerimaan negara semakin terlihat. Tax ratio Indonesia tercatat menurun pada kuartal I 2025 menjadi 7,95 persen, menurut laporan sejumlah media. Angka itu jauh di bawah target pemerintah dan rata-rata negara berkembang.
Sejumlah pengamat menilai penurunan ini disebabkan gangguan sistem pada implementasi Core Tax Administration System (CTAS) di awal tahun yang berdampak pada pelaporan dan pembayaran pajak. (Sumber: Kompas & Kontan, Mei 2025)
Pemerintah Perkuat Pengawasan
Untuk menekan kebocoran, Kementerian Keuangan menargetkan lebih dari 2000 wajib pajak badan masuk dalam pengawasan prioritas tahun ini. Langkah itu didukung integrasi data NIK–NPWP, pemanfaatan big data, dan peningkatan teknologi analitik di Direktorat Jenderal Pajak.
Reformasi ini merupakan bagian dari pelaksanaan Coretax, modernisasi administrasi perpajakan terbesar selama empat dekade. Pemerintah menegaskan strategi menutup tax gap tidak dilakukan dengan menaikkan tarif. Sebaliknya, pemerintah memperkuat sistem, data, serta pengawasan berbasis risiko.
Selain kepatuhan wajib pajak besar, tantangan terbesar justru berasal dari luasnya ekonomi informal. Menurut International Labour Organization (ILO), sektor informal Indonesia mencapai sekitar 44 persen PDB, membuat sebagian besar potensi pajak tidak terpantau.
Ekonom menilai perbaikan administrasi perlu diimbangi dengan kebijakan yang mendorong usaha informal masuk ke sektor formal melalui insentif dan penyederhanaan proses.












Discussion about this post