
Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.
Kemajuan teknologi komunikasi Indonesia telah menjadikan media sosial sebagai salah satu media yang memegang peranan penting dalam menyampaikan kampanye politik. Beberapa orang menggunakan momentum kontestasi politik sebagai ajang untuk mencari keuntungan finansial, salah satunya dengan bekerja menjadi buzzer di media sosial.
Buzzer dinilai memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk suatu topik pembicaraan di media sosial, sehingga tidak sedikit tokoh atau kandidat politik tertentu memberdayakan mereka untuk memenangkan kontestasi politik tersebut. Adapun melalui sifat interaktivitasnya, media sosial memungkinkan penggunanya untuk ikut bersuara pada sebuah topik percakapan tertentu. Fenomena munculnya buzzer politik perlu mendapatkan perhatian khusus dalam dunia akademik. Buzzer politik telah menjadi bagian dari pengguna media sosial dan digunakan sebagai propaganda politik di berbagai negara (Bradshaw & Howard, 2019).
Dalam konteks Indonesia Buzzer politik dinilai telah mencederai proses demokrasi, karena konten-kontennya mampu memecah belah masyarakat (Syahputra, 2017). Selain itu, terdapat isu bahwa buzzer pro-pemerintah telah kebal terhadap jeratan hukum (Arigi, 2019). Di balik kemampuannya dalam mengamplifikasi pesan secara masif, buzzer cenderung menyampaikan kampanye politik negatif (Mustika, 2019).
Buzzer memiliki peran penting untuk memfasilitasi elit politik dalam melakukan kampanye (Saraswati, 2018). Berdasarkan beberapa gagasan tersebut maka sudah seharusnya fenomena munculnya industri buzzer tidak hanya dilihat dari perspektif positivistik yang melihat bahwa mereka adalah dampak dari kemajuan teknologi komunikasi, namun perlu ada kajian yang membongkar suatu alasan mengapa mereka terus dibiarkan bertumbuh dan tetap menyuarakan pesan-pesan yang negatif.
Istilah Buzzer sendiri berasal dari ranah pemasaran (marketing) yang awalnya berupa istilah buzz marketing atau teknik pemasaran barang atau jasa untuk menghasilkan bisnis dengan pergerakan informasi dari mulut ke mulut (Mustika, 2019).  Istilah  Buzzer sendiri mulai populer ketika  berkembangnya  teknologi media sosial. Dalam ranah media sosial, buzzer tidak hanya bertugas untuk mengunggah cuitan saja namun menjalankan kampanye kepada follower.
Buzzer dianggap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi karena kemampuanya untuk menjangkau dan mendistribusikan  konten  kepada  berbagai  pengguna  media sosial (Saraswati, 2018). Tren buzzer mulai hadir di Indonesia pada tahun 2009 dimana media sosial twitter mulai secara luas diterima dan digunakan oleh masyarakat (Dimedjo, 2019).
Bahkan hingga saat ini buzzer sendiri adalah suatu industri yang turut bergerak dengan agensi atau biro komunikasi (Mustika, 2019). Tidak hanya di twitter, berbagai media sosial telah menjadi lingkup kerja buzzer. Buzzer ini dinilai sebagai implikasi dari tumbuhnya media sosial dan memiliki peran penting dalam membentuk suatu topik percakapan di media sosial.
Saat ini objek dari promosi buzzer mengalami pergeseran, yang pada awalnya memasarkan produk komersil dari suatu perusahaan menjadi tokoh publik yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di lembaga pemerintahan. Buzzer bertugas untuk membangun dukungan rakyat terhadap suatu calon pemimpin yang sedang berkampanye.
Kontestasi politik di Indonesia telah menjadikan media sosial sebagai salah satu media yang memegang peranan penting dalam menyampaikan kampanye politik. Dalam penelitian ini, buzzer politik adalah akun media sosial baik yang dikelola individu maupun perusahaan dimana akun tersebut memiliki follower dalam jumlah banyak dan turut melakukan kampanye politik dengan menyebar berbagai berita hoax serta ujaran kebencian (Mustika, 2019; Syahputra, 2017).
Penggunaan buzzer dalam konteks berpolitik sudah hampir dilakukan pada seluruh belahan dunia. Sebanyak 89 persen dari 70 negara yang menjadi subjek penelitiannya menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politiknya.
Di Indonesia sendiri, buzzer digunakan oleh politisi dan partai politik dalam membangun opini dan dukungan publik terhadap suatu calon pemimpin. Kecenderungan buzzer Indonesia adalah membangun topik menggunakan akun-akun palsu yang dikendalikan baik oleh manusia maupun robot dalam jumlah besar untuk menciptakan konten yang bersifat minsinformasi dan disinformasi. Masifnya pesan yang diproduksi oleh buzzer menyebabkan topik pembicaraannya akan menjadi trending topic di media sosial.
Dalam konteks Indonesia, buzzer telah digunakan oleh tokoh publik yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Regulasi disusun untuk menjadi senjata pertahanan dari gempuran pencemaran nama baik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai telah menjadi alat pertahanan diri pemerintah dalam melumpuhkan buzzer lawan politiknya.
Bahkan aparat negara dinilai cukup sering menggunakan pasal UU ITE mengenai pencemaran nama baik. Bila dilihat dari perspektif kritis, kondisi ini tidak dipandang hanya sebagai dampak dari munculnya media sosial saja, namun ada aktor-aktor yang saling berhubungan untuk mempertahankan kepentingannya.
Peran buzzer pada kampanye politik dalam berbagai konteks dan teori. Jati (2017) menyatakan bahwa kelas menengah telah menjadi target kampanye politik dari buzzer maupun influencer karena mereka aktif dalam menyebarkan konten-konten dalam media sosial. Idris (2018) memetakan jaringan sosial yang terbentuk terhadap percakapan  dengan  tagar #DukungGermas yang diinisiasi  oleh  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Idris (2018) menyampaikan bahwa penggunaan buzzer tidak membangun komunikasi dua arah pada saat terjadi krisis dan cenderung akan menghancurkan reputasi suatu organisasi. Saraswati (2018) dalam kajiannya mengenai media sosial dan industri kampanye politik  di Indonesia menyatakan bahwa suatu kampanye politik perlu didukung oleh kekuatan ekonomi untuk menggerakan industri kampanye politik serta telah terjadi komodifikasi pada media sosial  sebagai media untuk melakukan kampanye.
Felicia (2019) melalui penelitian studi kasus berkesimpulan bahwa buzzer  dengan  imbalan tertentu  memiliki  peran  untuk  memperluas  suatu informasi melalui retweet dan penggunaan tagar sehingga dapat dilihat oleh pengguna media sosial dalam bentuk trending topic. Penelitian ini akan menawarkan kebaruan berupa kajian mengenai buzzer politik melalui perspektif teori ekonomi politik komunikasi.
Peran pemerintahan, elit politik serta tokoh publik dalam menggunakan kuasanya untuk menggerakan  buzzer melalui teori ekonomi politik media. Kajian ekonomi politik dalam arti sempit berusaha untuk menjelaskan relasi kuasa antara berbagai aktor yang mampu mempengaruhi alur produksi, distribusi hingga konsumsi suatu pesan media.
Sedangkan dalam arti yang luas adalah kajian yang mempelajari kontrol dan kelangsungan hidup dalam kehidupan sosial (Mosco, 2009). Pengertian mengenai ekonomi politik secara sederhana adalah hubungan yang melibatkan kekuasaan (politik) dan berbagai sumber ekonomi di masyarakat.
Sudut pandang Mosco mengenai penguasa lebih menekankan pada orang-orang yang mengendalikan kehidupan bermasyarakat, adapun dasar kehidupan sosial adalah ekonomi. Sehingga pendekatan ekonomi politik ialan suatu cara pandang untuk membongkar permasalahan yang tampak pada permukaan (Manggaga, 2019).
Implementasi teori ekonomi politik dalam kajian komunikasi akan mengaplikasikan konsep komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi (Mosco, 2009). Komodifikasi dalam kajian komunikasi melibatkan transformasi pesan menjadi produk yang menarik sehingga dapat dijual di pasaran (Mosco, 2009).
Strukturasi adalah suatu proses di mana struktur sosial saling dijaga oleh agen sosial dan masing-masing bagian dapat bertindak untuk melayani bagian lainnya. Isu mengenai kelas sosial, pergerakan sosial dan hegemoni merupakan bagian dari bahasan strukturasi. Seiring dengan berkembangnya teknologi media, teori ekonomi politik saat ini telah memasuki ranah media online, dalam hal ini spasialisasi adalah suatu upaya untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dengan memanfaatkan teknologi komunikasi sehingga memberikan kemudahan bagi pengguna media sosial untuk mendapatkan konten kampanye politik.
UU ITE Sebagai Alat Pemerintah dalam Mempertahankan Kekuasaan
UU ITE penting untuk dibahas karena lingkungan kerja buzzer politik berada pada dunia maya yang dimana informasi sangat cepat berputar dan silih berganti, terlebih konten-konten buzzer cenderung mengarah pada ujaran kebencian, misinformasi   ataupun   disinformasi   (Mustika,   2019).
Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan di berbagai media pemberitaan bahwa pada dasarnya kehadiran buzzer tidak dipermasalahkan oleh UU ITE. Namun, mantan Menkominfo tersebut menyatakan bahwa yang menjadi fokus UU ITE adalah konten-konten buzzer dan setiap buzzer akan diadili jika mereka terbukti memproduksi dan mendistribusikan konten-konten yang negatif. Jika memang UU ITE ini diimplemenetasikan dengan baik maka seharusnya sudah banyak orang-orang yang terjerat pasal terkait, namun pada kenyataannya tidak demikian.
UU ITE lahir dari sektor pemerintah dan akademik (Atmaja, 2014) dimana pada tahun 1999 Universitas Padjajaran, Institut Teknologi Bandung dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang  Undang  Pemanfaatan  Teknologi  Informasi  (RUU  PTI).
Pada tahun 2000, Universitas Indonesia dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Pada tahun 2003, kedua  RUU  tersebut  diselaraskan  menjadi  Rancangan  Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).
Pada akhirnya, RUU ITE ditindaklanjuti pada tahun 2005 melalui Kementerian Kominfo dan diselesaikan pada tahun 2008. Kebaruan materi dari UU ITE ini antara lain diakuinya informasi dan/atau  dokumen  elektronik sebagai bukti hukum yang sah, diakuinya tanda tangan elektronik, Hak kekayaan intelektual di dunia maya dan lain sebagainya.
UU Nomor 11 Tahun 2008 atau yang dikenal sebagai UU ITE sendiri adalah suatu simbol bergesernya orientasi, model serta sistem informasi di Indonesia, selain itu menandai kewenangan negara untuk membatasi informasi, termasuk informasi yang berada di internet  (Atmaja, 2014).
UU ITE dinilai sebagai semangat Indonesia untuk menegakkan kedaulatannya di dunia maya. Atmaja (2014) turut menyampaikan bahwa dibalik hukum negara ada berbagai kekuatan yang secara diam diam bekerja di masyarakat, dalam hal ini hukum hanya menempati posisi yang bergantung pada aktor yang mampu memainkan kekuatan tersebut.
Atmaja  (2014)  memberikan kritik  bahwa  UU  ITE  tidak sejalan dengan perkembangan hukum internasional. Di beberapa negara kabar bohong,  penghinaan,  pencemaran  nama  baik  masuk  dalam  hukum perdata bahkan dihapuskan karena dinilai sulit untuk dibuktikan dan bersifat subjektif.
UU ITE dinilai memiliki pasal karet sehingga digunakan oleh elit pemerintahan untuk melawan rakyatnya sendiri (Gerintya & Garnesia, 2019). Namun, sangat disayangkan UU ITE seperti tidak dipermasalahkan oleh pemerintahan dan isu mengenai revisi UU ITE hampir tidak pernah muncul di berbagai media. Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform  (ICJR) Anggara Suwahju menyatakan bahwa saat ini UU ITE mengalami  tumpang tindih  dengan  KUHP  khususnya pada tindak pidana penghinaan.
UU ITE dalam hal ini dinilai sebagai sebuah perpanjangan KUHP mengenai tindak pidana penghinaan karena pada KUHP tidak termuat pasal penghinaan yang tertulis pada media online seperti media sosial. Anonimitas di media sosial menjadi salah satu penghalang besar untuk mengetahui siapa sebenarnya pengelola suatu akun. Berbagai kelemahan tersebut seolah-olah tetap dijaga oleh pihak pemerintah sehingga semakin kuat dugaan bahwa UU ITE sebagai senjata pemerintah dari serangan konten media sosial.
Pada analisis yang dilakukan oleh website pinterpolitik.com (2019), dijelaskan bahwa terdapat ketidakadilan terhadap pengimplementasian UU ITE. Seorang jurnalis beraliran kritis Dandhy Dwi Laksono dijerat dengan UU ITE karena cuitannya di twitter dianggap merupakan ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Dandhy juga dikenal sebagai salah satu orang yang ikut memproduksi film Sexy Killers dimana film tersebut membongkar ketidakberesan yang terjadi pada industri batu bara di Indonesia melalui perspektif ekonomi politik. Tulisan artikel pinterpolitik.com tersebut pula membandingkan kasus tersebut dengan buzzer yang pro-pemerintah yang sama sekali tidak terjerat UU ITE meskipun ada indikasi menyebarkan hoax saat terjadi kerusuhan RUU KPK di DKI Jakarta.
Adapun di luar konteks buzzer, kasus mengenai tewasnya mahasiswa di Kendari dalam unjuk rasa RUU KPK tidak diusut secepat Dandhy. Fenomena tersebut dinilai dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Dugaan mengenai penggunaan UU ITE sebagai senjata pemerintah didukung oleh beberapa fakta yang menjelaskan bahwa pelanggaran UU ITE lebih banyak berada pada sektor pencemaran nama baik seseorang.
Pada awalnya UU ITE No.11 Tahun 2008 dimaksud untuk menjamin adanya kepastian hukum mengenai  berbagai  informasi dan  transaksi  yang  dilakukan  secara  elektronik tetapi dalam implementasinya, regulasi tersebut lebih digunakan untuk menjerat pihak-pihak terkait dengan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) turut menunjukan bahwa pelaporan dengan menggunakan UU ITE memiliki siklus dimana pada tahun dilaksanakannya pemilihan umum terdapat peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tahun yang lainnya (Gerintya, 2018). Adapun hingga Agustus 2018, 49,72 persen pasal yang digunakan sebagai dasar pelaporan adalah pasal 27 ayat (3) yang merujuk pada pencemaran nama baik.
Berdasarkan data yang telah diolah oleh tirto.id, hingga tahun 2018 pelapor kasus UU ITE terbanyak adalah aparat negara yaitu sebesar 35,92 persen. Melihat kondisi tersebut, maka semakin kuat dugaan, bahwa memang pada akhirnya UU ITE menjadi senjata bagi pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Industri Buzzer Politik dalam Perspektif Ekonomi Politik Media
Discussion about this post