Tanpa pajak, jalan-jalan yang mestinya bebas dilalui rakyat berubah menjadi fasilitas berbayar. Seperti jalan tol dengan tarif per kilometer atau jembatan berharga puluhan ribu sekali lewat, rakyat kecil bisa saja tak lagi mampu melewati jalan aspal atau menyeberangi jembatan. Biaya distribusi melonjak, harga kebutuhan meroket, subsidi listrik, gas, dan pupuk hilang, membuat kehidupan menengah ke bawah makin terjepit.
Dalam kondisi itu, yang berpunya mungkin masih bisa bertahan. Namun bagi rakyat kecil, absennya pajak berarti hilangnya perlindungan. Dengan kata lain, pajak adalah benteng terakhir yang menjaga agar mereka tidak terhimpit kerasnya hidup.
Pajak sering dipersepsikan sebagai kewajiban yang merugikan. Padahal, jika ditilik lebih dalam, pajak adalah investasi sosial. Mereka yang membayar pajak sesungguhnya sedang menabung kebaikan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Ketika seorang karyawan menengah membayar pajak, uangnya bisa kembali dalam bentuk jalan yang lebih lancar menuju kantor, sekolah gratis untuk anak tetangga, atau rumah sakit yang siap sedia melayani keluarganya.
Ketika pengusaha besar menunaikan kewajiban pajaknya, ia membantu menciptakan ekosistem usaha yang stabil, karena daya beli masyarakat kecil tetap terjaga lewat subsidi dan fasilitas publik. Dengan begitu, pajak bukan sekadar uang yang hilang, melainkan modal sosial untuk memastikan roda bangsa terus berputar.
Tugas kita bersama adalah menjaga kepercayaan masyarakat bahwa pajak benar-benar kembali dalam bentuk manfaat. Transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan harus menjadi ruh pengelolaan pajak. Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan: tanpa pajak, negara bisa lumpuh.
Oleh karena itu, penting untuk meluruskan narasi: pajak tidak pernah dirancang untuk menindas masyarakat kecil. Justru sebaliknya, sistem perpajakan kita dibangun dengan semangat keberpihakan kepada mereka. Pajak adalah gotong royong yang dilestarikan dalam wujud modern, agar Indonesia bisa terus tumbuh bersama.
Pajak memang tidak selalu terasa manis. Ia sering hadir diam-diam, dalam bentuk potongan atau harga barang. Namun, jika kita jujur melihat sekeliling, hampir semua fasilitas publik yang kita nikmati berdiri di atas kontribusi pajak.
Pajak tidak membebani masyarakat miskin, karena mereka dilindungi dengan pengecualian dan subsidi. Pajak justru menopang kehidupan mereka, memastikan hak dasar tetap terjaga. Masyarakat menengah ke bawah adalah penerima manfaat terbesar dari sistem ini.
Maka, mari kita sudahi stigma pajak sebagai musuh rakyat. Pajak adalah wujud nyata gotong royong yang telah mengakar sejak nenek moyang kita. Dengan pajak, kita menjaga agar jembatan tidak runtuh, sekolah tetap buka, rumah sakit tetap berfungsi, dan Indonesia terus melangkah maju.**
Penulis: Indaraputuri Nurmasruri, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Kalimantan Barat
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.










Discussion about this post