Bayangkan jika suatu hari jalan yang biasa kita lewati menuju sekolah atau tempat kerja tiba-tiba berlubang parah, rumah sakit negeri kehabisan obat, guru di sekolah tak lagi mendapat gaji, dan subsidi listrik lenyap begitu saja. Semua karena satu hal sederhana: pajak berhenti dibayar.
Kondisi itu bukan sekadar bayangan. Ia adalah ancaman nyata jika seruan “stop bayar pajak” benar-benar diikuti. Padahal, di balik segala stigma dan keluh kesah yang sering melekat, pajak sejatinya dirancang pro seluruh masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Pajak di Indonesia bukan hanya angka di slip gaji atau sekadar potongan di kasir. Pajak adalah napas gotong royong bangsa. Ia mengalir dari mereka yang mampu untuk memastikan yang lemah tidak tertinggal. Prinsip inilah yang membuat pajak tidak bisa dipandang sebagai beban semata, melainkan jembatan menuju keadilan sosial.
Sering muncul anggapan bahwa pajak menekan rakyat kecil. Padahal faktanya, masyarakat dengan penghasilan rendah justru tidak dikenai pajak penghasilan (PPh). Batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditetapkan cukup tinggi sehingga pekerja dengan gaji pas-pasan, misalnya buruh atau karyawan level pemula, tidak terbebani.
Dengan kata lain, negara sadar betul bahwa mereka yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar tidak seharusnya dipotong lagi untuk pajak. Begitu pula untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sejak 2022, pemerintah menetapkan bahwa omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak dikenai pajak. Kebijakan ini jelas berpihak pada pedagang kecil, warung kopi, penjual online rumahan, hingga pelaku usaha tradisional di pasar. Mereka bisa memutar modal lebih leluasa tanpa khawatir uang hasil jerih payah langsung terpotong kewajiban pajak.
Tak berhenti di situ, pajak juga tidak dikenakan pada barang-barang kebutuhan pokok. Beras, jagung, sayur, telur, ikan, dan daging—semua dikecualikan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, harga kebutuhan sehari-hari tetap terjangkau. Kebijakan ini adalah bentuk nyata keberpihakan pajak terhadap masyarakat menengah ke bawah, karena negara tahu betul betapa pentingnya kestabilan harga pangan.
Jika ditarik ke akar budaya, pajak sebenarnya tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Kita mengenal gotong royong: mereka yang lebih kuat membantu yang lemah, mereka yang lebih mampu menopang yang kekurangan. Pajak hanyalah bentuk modern dari tradisi itu.
Bayangkan sebuah kampung yang membangun jembatan. Warga yang punya kayu menyumbang kayu, yang punya tenaga ikut bergotong royong, sementara yang tidak punya apa-apa tetap boleh menyeberangi jembatan saat selesai. Begitulah pajak bekerja. Tidak semua orang diminta menyumbang dalam jumlah sama, tetapi semua orang boleh menikmati hasilnya.
Kita mungkin jarang merasakannya secara langsung, tapi pajak hadir di setiap sudut kehidupan. Pajaklah yang membiayai pendidikan gratis melalui BOS, sehingga anak-anak dari keluarga sederhana bisa sekolah tanpa harus terbebani biaya tinggi. Pajak pula yang menopang subsidi kesehatan, sehingga masyarakat bisa berobat dengan BPJS di rumah sakit.
Subsidi listrik untuk rumah tangga kecil, program bantuan sosial, infrastruktur jalan, jembatan, hingga subsidi pupuk untuk petani—semua datang dari pajak. Bahkan vaksin COVID-19 yang dulu kita terima tanpa bayar, didanai oleh pajak. Singkatnya, pajak adalah salah satu bentuk kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya.
Bagaimana Jika Pajak Berhenti Dibayar?
Seruan “stop bayar pajak” yang sesekali muncul di ruang publik sesungguhnya menyimpan bahaya besar. Bayangkan jika pajak benar-benar berhenti dibayar: sekolah negeri terguncang, gaji guru honorer terhenti, dana BOS mandek, dan ribuan siswa kehilangan hak belajar. Rumah sakit pun kelimpungan, stok obat menipis, subsidi berobat hilang, dan layanan BPJS lumpuh.










Discussion about this post