Kemajuan teknologi, khususnya akal imitasi (AI), mengubah tempat kerja dengan lebih cepat dan signifikan dibandingkan sebelumnya di berbagai kelompok demografis. Kendati AI dapat melakukan analisis data yang lebih cepat dan luas dibandingkan manusia, keputusan yang diambil oleh AI bergantung pada data yang digunakan.
Alhasil, jika data dasar yang digunakan bias atau tidak lengkap, algoritma yang dihasilkan dapat memperkuat ketidaksetaraan, diskriminasi atau pengucilan.
Mesin-mesin perekrutan dalam berbagai konteks telah menunjukkan preferensi terhadap kandidat laki-laki dibandingkan perempuan karena bergantung pada data selama sepuluh tahun terakhir, yang secara dominan mencerminkan dominasi laki-laki dalam pencarian pekerjaan pekerjaan.
Di Indonesia, tantangan terkait kesetaraan gender dan non-diskriminasi di tempat kerja masih terjadi. Menurut Survei Tenaga Kerja Nasional 2025, tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan tetap rendah sekitar 56,42 persen, dibandingkan dengan sekitar 84,66 persen untuk laki-laki.
Dalam konteks ini, dan dengan tujuan untuk mengeksplorasi potensi AI dalam mengurangi atau memperburuk ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja, Kantor Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk Indonesia dan Timor-Leste menyelenggarakan forum bertajuk Dialog Kebijakan: Akal Imitasi (AI) dan Non-Diskriminasi di Dunia Kerja pada 20 November 2025 di Jakarta.
Forum ini, yang merupakan forum kelima dari serangkaian diskusi khusus yang difasilitasi oleh ILO tentang AI dan dunia kerja, menghadirkan Pratikno, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Ia menekankan komitmen kementerian dalam mengembangkan AI secara bertanggung jawab, dengan menyoroti pembentukan gugus tugas yang berfokus pada AI yang berorientasi pada manusia.
“Kami sangat menghargai Forum AI ILO dalam membahas peluang dan tantangan AI serta implikasinya yang luas. Penting untuk menghadapi isu-isu ini agar AI dapat berkontribusi positif terhadap perkembangan manusia dan membantu menutup kesenjangan yang mempertahankan diskriminasi. Karena sistem AI sangat bergantung pada masukan data dan semakin diterapkan dalam kebijakan perekrutan, profiling dan promosi, kita harus memastikan bahwa sistem tersebut menghasilkan hasil yang adil,” ujarnya.
Sementara Pawel Gmyrek Peneliti Senior di Departemen Penelitian ILO di Jenewa membahas adopsi AI di tempat kerja, menyoroti penelitian terbaru ILO tentang Generative AI (GenAI) dan ketenagakerjaan.
Secara global, satu dari empat pekerja berada di bidang pekerjaan yang terpapar GenAI dalam berbagai tingkat. Sekitar 3,3 persen tenaga kerja global masuk dalam kategori paparan tertinggi, dengan perbedaan signifikan antara tenaga kerja perempuan (4,7 persen) dan laki-laki (2,4 persen).









Discussion about this post