Karena itu, ia menekankan agar izin yang ada dimanfaatkan terlebih dahulu, sebelum membuka lahan baru.
Hero juga menyinggung dukungan pemerintah melalui program replanting sawit, sarana prasarana, hingga pengembangan SDM yang dananya bersumber dari BPDPKS.

“Di Kalbar, program replanting sudah mencapai 24 ribu hektar dengan nilai bantuan sekitar Rp 600 miliar. Selain itu, lebih dari 150 mahasiswa asal Kalbar telah menerima beasiswa sawit untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi,” ujarnya.
Dari perspektif regulasi internasional, Hero mengingatkan tantangan dari Uni Eropa terkait kebijakan deforestation regulation yang berpotensi menghambat akses pasar sawit Indonesia. Menurutnya, hal ini perlu dijawab dengan penguatan praktik perkebunan berkelanjutan sekaligus pendampingan kepada petani swadaya.
Sementara itu, Deputi Bidang Karantina Tumbuhan Bambang MN, menekankan pentingnya membangun persepsi publik yang positif tentang sawit. Ia menegaskan, bahwa kelapa sawit merupakan tanaman paling produktif dalam menghasilkan minyak nabati sekaligus energi, sehingga justru menjadi solusi menjaga hutan tropis dunia.
“Sering kali sawit dituduh boros air atau merusak lingkungan. Padahal justru sawit adalah tanaman paling efisien dan mampu menjaga keseimbangan ekosistem,” kata Bambang.
Ia juga mengajak semua pihak, termasuk media, untuk bersatu menyuarakan fakta positif tentang sawit sebagai komoditas strategis bangsa.
Melalui forum IPOSC ini, para pemangku kepentingan berharap lahir rekomendasi kebijakan yang lebih berpihak pada petani, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia dengan prinsip keberlanjutan. **
Discussion about this post