Kasus di tubuh PLN ini menambah daftar panjang masalah korupsi yang tengah ditangani oleh aparat penegak hukum. Kejaksaan Agung juga sedang menyelidiki dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, dengan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun per tahun. Korupsi tersebut terjadi selama lima tahun, sehingga total kerugian negara mencapai Rp 1000 triliun.
Kasus korupsi di PLN berdampak besar pada sektor kelistrikan, masyarakat menantikan pengusutan tuntas dan penindakan tegas terhadap para pelaku. Selain terbongkarnya kasus korupsi, masyarakat juga meminta PLN memperbaiki kinerjanya, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Lampu yang sering mati mendadak, hingga membuat kerusakan pada peralatan elektronik sangat merugikan masyarakat sebagai pelanggan yang setiap bulan rutin membayar tepat waktu, dan jika telat langsung dilakukan pemutusan,” ujar Murhadi Sastrawan, warga di salah satu komplek perumahan Jalan Paris 2 Pontianak, Kalimantan Barat.
Bapak dua anak yang bekerja di sebuah perusahaan swasta ini menilai, PLN tidak bersikap profesional. “Karena jika terjadi kerusakan pada peralatan elektronik kami, mereka tutup mata dan telinga, tapi bila pembayaran listrik telat langsung diputuskan. Begitu pula petugas penagihnya yang tidak menyenangkan dan tidak ramah,” cetus Murhadi.
BUMN dengan jargon AKHLAK yang merupakan singkatan dari kata-kata Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif, biasa juga disebut Berakhlak dinilai hanya berupa isapan jempol saja, namun tidak bekerja maksimal.
“Menjadi semboyan tanpa implementasi,” kata Direktur Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul kepada wartawan.
Adib menilai, jargon Berakhlak yang digaungkan hanya sebatas pencitraan saja, dan tidak mampu dijalankan sebagaimana mustinya.
Pengamat BUMN, Herry Gunawan bilang, persoalan utama korupsi di BUMN justru terletak pada moralitas dan tata kelola. Dengan adanya jargon AKHLAK tetap saja tidak membawa dampak apapun bagi perusahaan negara itu, kecuali hanya sebatas kertas kewajiban saja.
Sementara Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai, banyaknya kasus korupsi di tubuh BUMN menunjukkan tata kelola yang buruk. Artinya, perusahaan pelat merah itu tidak menjalankan tata kelola perusahaan dengan baik.
“Tata kelola di BUMN ini sangat buruk. Tidak terlembaganya prinsip-prinsip korporasi yang baik, tata kelola yang baik,” kata Zaenur kepada media.
Menurut dia, praktik-praktik korporasi yang buruk itu, sudah berlangsung bertahun-tahun, sudah membudaya. “Maka tidak heran, walaupun terjadi pergantian pemerintahan, pergantian menteri BUMN, pergantian direksi, tetap saja tidak menghilangkan akar masalah dari korupsinya,” imbuhnya. **
Discussion about this post