“Termasuk menyempurnakan sistem teknologi informasi perbankan, yaitu sistem anti fraud, sehingga bisa mendeteksi transil ilegal secara tepat. Parameter bank-bank memang agak beda dengan, misalnya parameter untuk pencucian uang yang skalanya besar. Sedangkan transaksi judol, kadang hanya melibatkan uang Rp 10 ribu. Sekarang dengan parameter yang telah diperbarui, maka transaksi terkait judol dalam nominal yang kecil pun sudah dapat diketahui perbankan dan OJK,” kata Dian.
OJK juga berencana semakin mempersempit transaksi judol dengan ketentuan pemblokiran secara permanen dari sistem keuangan Indonesia kepada individu yang melakukan pelanggaran berat atas aktivitas perjudian daring. Nantinya, individu tersebut tidak dapat membuka rekening di perbankan, setelah masuk ke dalam daftar hitam, ini akan memberikan efek jera kepada para pelaku judol.
“OJK akan bertindak lebih keras lagi terhadap mereka yang terbukti melakukan pelanggaran, khususnya pelanggaran berat sebagai bandarnya atau fasilitator. Akan ada konsekuensi blacklisting. Mereka tidak boleh lagi membuka rekening di bank,” tegas Dian.
Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tercatat, total transaksi judi online di Indonesia mencapai Rp 100 triliun pada kuartal I-2024. Sepanjang 2023 lalu total transaksi judi online ditaksir mencapai Rp 327 triliun.
Selain perbankan, PPATK juga menemukan adanya indikasi transaksi judi online melalui fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online. Ini diakui Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana yang mengungkapkan, bahwa pencairan pinjaman online masuk ke rekening nasabah di bank, sehingga dana bercampur dengan dana lainnya dari nasabah tersebut dan tidak dapat diketahui secara pasti jumlah pinjaman online yang telah masuk untuk judol.
“Dari beberapa analisis beberapa rekening pemain judol, diketahui bahwa sumber dananya berasal dari pinjaman online,” jelas Ivan. **
Discussion about this post