Sementara itu, dalam paparannya terkait penyusunan anggaran berbasis risiko, Yulia menyampaikan, manajemen risiko adalah untuk mempersiapkan langkah ke depan, yakni untuk penganggaran di tahun berikutnya. Manajemen risiko juga digunakan sebagai alat analisis untuk memitigasi kegiatan yang telah dilaksanakan dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
“Identifikasi risiko juga merupakan suatu keharusan. Dari yang berrisiko tinggi, kami mencoba mengonversi dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dapat dihitung dengan uang atau yang dapat dianggarkan. Tentunya, risiko tinggi itu mengindikasikan kegiatan yang urgent dilakukan.,” katanya.
“Untuk dapat menyusun anggaran berbasis risiko, terdapat beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan, di antaranya menyiapkan produk manajemen risiko, kemudian melakukan identifikasi risiko, melihat kesesuaian kebutuhan anggaran berdasarkan mitigasi risiko, selanjutnya menjadi kebutuhan yang sifatnya rasional yang harus bisa dipenuhi,” ujarnya.
Tentunya, semua itu berpedoman pada norma indeks, SBM, dan pricelist. Hasil pengelolaan risiko tersebut kemudian mengarah kepada perencanaan anggaran yang berbasis risiko.
Mujiyanto, dalam paparannya menjelaskan, penerapan Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) dimaksudkan untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional, mendorong entitas lebih proaktif dan antisipatif, dan memberikan keyakinan dalam menghadapi ketidakpastian pencapaian sasaran pembangunan nasional.
“Peran BPKP pada consulting dengan memberikan atensi dan saran secara objektif, sedangkan pada assurance dengan melakukan reviu, evaluasi, Audit Tujuan Tertentu (ATT), penilaian maturitas MRPN, serta berkolaborasi dengan APIP lain dan Satuan Pengawas Intern,” pungkasnya.
Terakhir, ia menyampaikan, MRPN mirip dengan manajemen risiko pada Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), tetapi lebih berfokus pada pembangunan nasional.**
Discussion about this post