Mengenang suka duka melakoni bisnisnya hingga beromset Rp 100 juta lebih per bulan, membuat pasangan ini tertawa bersama. Ketika itu, waktu masih berpacaran, mereka berdua memang merupakan pekerja media di sebuah suratkabar terkemuka di Pontianak.
Bearing adalah seorang fotografer, namun juga jago design. Sementara Wiwi merupakan staf bagian iklan koran berbahasa Mandarin. Mereka berdua klop, memiliki banyak kawan, banyak relasi dan banyak jaringan. Tapi yang utama adalah skill.
Sebelum menikah, mereka berdua sepakat mencoba peruntungan usaha di bidang design cetakan dan setting. Orangtua Wiwi pun setuju untuk merelakan garasi rumahnya disulap menjadi tempat usaha kecil-kecilan.

“Waktu itu, kebetulan masuk tahun politik. Banyak teman-teman yang memberi orderan cetak. Malah ada caleg-caleg yang minta buatkan poto profil design spanduk atau baliho. Mereka hanya memberi DP (down payment) atau uang muka untuk cetakan yang dilunasi setelah barang jadi. Nah, ini kita lempar ke percetakan. Keuntungan itulah yang kita simpan dan jadi modal awal membuat usaha ini,” cerita Wiwi.
Di tahun 2007 itu, memang merupakan awal dunia percetakan masuk Pontianak. Harga orderan cetak pun terbilang tinggi. Untuk spanduk atau baliho harga per meternya Rp 50 ribu, karena memang bisnis percetakan masih bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan sekarang, yang harga cetakan spanduk hanya dipatok angka Rp 20 ribu saja, bahkan ada yang lebih murah lagi.
Setelah menikah, mereka sepakat fokus bisnis. Pekerjaan di media pun ditinggalkan. Uang tabungan dibuka untuk beli mesin indoor. Itu di tahun 2009. Berlanjut di tahun 2011 membeli mesin outdoor. Dari ruang garasi berukuran dua meter kali enam meter, akhirnya masuk rumah. Orangtua Wiwi merelakan tempat tinggalnya menjadi lokasi usaha dan pindah rumah.
Dari satu lantai saja yang digunakan, akhirnya merambah ke lantai dua, karena sudah terasa sesak dipenuhi oleh mesin-mesin, jumlah pekerja juga bertambah banyak.
Tak jauh-jauh dari profesi media, di tahun 2008 Wiwi malah pernah menerbitkan sebuah majalah yang diberinya nama Pontianak Info Media. Isinya adalah advertorial atau iklan-iklan serta beberapa ulasan berita-berita ringan. Peminatnya lumayan banyak. Di jaman dunia maya belum dilahirkan, promosi produk tak punya pilihan selain media cetak, yang harganya lumayan mahal.
Peluang itu ditangkap Wiwi. Dia menerbitkan majalah full color terbit bulanan, yang isinya 80 persen promo iklan dengan harga terjangkau, dan dibagikan gratis kepada masyarakat. Ribuan tiras dicetaknya dari percetakan di Jakarta dan dibawa ke Pontianak dengan transportasi laut.
Sempat berjalan setahun. Ketika suatu hari kapal yang membawa majalahnya tiba-tiba karam, barang cetakan pun ikut karam. “Dari sinilah, kita kemudian kepikiran untuk buka usaha percetakan, agar bisa cetak sendiri dan masyarakat pun tidak perlu jauh-jauh jika ingin mencetak. Sebab, waktu itu kan, kalau mau bikin produk cetakan, seperti buku, brosur atau majalah harus lempar ke Jakarta atau di luar daerah ini. Selain mahal, juga waktu tibanya kadang meleset,” kata Wiwi.
Kini, mereka berdua bersyukur. Usaha yang dititinya dari bawah sudah berada di atas, meskipun belum sampai puncak. Asetnya juga terus bertambah bahkan bisa membangun rumah sendiri. **
Discussion about this post