Menurut Bupati, untuk memenuhi pasar ekspor, harus ada keseimbangan terlebih dahulu, dari hulu ke hilir. Produksi harus lebih ditingkatkan dengan menambah luas lahan, sehingga panennya bisa bertingkat-tingkat. Kalau satu hektar panen satu ton, nantinya diharapkan satu hektar bisa lebih dari satu ton panennya.
Untuk itu, dia menggerakkan petani-petani di setiap kecamatan agar rajin menanam kopi. Sebelum kopi Liberika merebak, sejatinya masyarakat petani di daerah ini memang sudah menanam kopi, mayoritasnya adalah kopi Robusta, sebagian Arabika. Sebagian kecil lainnya adalah kopi Liberika, yang mereka sebut sebagai kopi kampung.
“Jadi, penikmat kopi Liberika ini, sebenarnya sudah ada lama di Kayong Utara. Karena tidak tahu jenisnya, mereka menyebutnya sebagai kopi kampung,” jelas Citra Duani.
Kopi kampung atau Kopi Liberika yang belum diolah atau masih berbentuk biji, biasanya dihargai Rp 40 – Rp 45 ribu per kilo. Namun untuk pasar ekspor harganya bisa melejit hingga Rp 100 ribu per kilo.
Pasar yang terbentang dan menggiurkan inilah, yang bakal mengubah nasib petani-petani kopi di daerah. ” Kita harus mengembangkan kedaulatan dan kesejahteraan para petani. Di setiap lahan olahannya harus memiliki produk unggulan, sehingga perekonomian mereka semakin baik,” imbuh Bupati Citra Duani.
Kopi Liberika Kayong Utara memang unik dan berciri khas. Ditanam dan hidup di dataran rendah, Liberika memiliki kandungan kafein terendah dari berbagai varitas kopi lainnya, yakni hanya 0,08 persen.
“Jadi kalau ada yang asam lambung atau punya penyakit maag, minum kopi ini aman. Mau berapa gelas pun tak masalah. Nikmatnya lagi, kopi Liberika Kayong memiliki citarasa buah-buahan, malah semua citarasa dari varitas kopi lainnya ada di sini. Ini bukan kata saya, tapi kata ahlinya kopi, termasuk dewan juri di Spanyol,” kata Citra.**
Pewarta/Editor: Yuli.S
Discussion about this post