Madu yang dihasilkan dalam kawasan TN Danau Sentarum memang memiliki nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat setempat. Produksi madu hutan di sini, mencapai 15 hingga 30 ton per tahun. Menurut data APDS (Asosiasi Pengelola Madu Danau Sentarum) tahun 2018, nilainya mencapai IDR 1,5 hingga 4,5 miliar per tahun.
Kata Gunawan Budi Hartono, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah III Lanjak, Balai Besar Tana Bentarum, madu yang dihasilkan di kawasan Sentarum ini beda dengan madu umumnya.
Hasil penelitian Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), menyebut bahwa madu hutan di kawasan TNDS memiliki anti aging yang paling tinggi di antara madu hutan lainnya di Indonesia. Hasil uji lab mengandung glukosa 72 persen, sukrosa 4,72 persen, keasaman 32,6 mgst per kg, padatan yang tidak larut dalam air 1,17 persen, dengan kadar air sebesar 20 hingga 18,24 persen.
“Madu Danau Sentarum tidak pernah beku dalam freezer. Karena lebahnya hanya mengisap nektar dari gula, kalau di tempat lain mengisap dari batang dan daun. Itu yang membuat madu di kawasan Sentarum tidak beku,” jelas Gunawan.
Madu asli dari kawasan Danau Sentarum dijual seharga Rp 120 ribu hingga Rp 150 ribu per kilo. Namun ketika masuk pasar Pontianak, harganya pun melonjak hingga dua kali lipatnya.
Begitu pula dengan ikan Arwana Super Red, yang ketika baru lahir saja sudah dihargai senilai Rp 1 juta. Gunawan sendiri sebagai pengelola kawasan Sentarum membuat program-program yang saling menguntungkan bagi masyarakat. Salah satunya adalah pengembangan ikan Arwana Super Red.
Masyarakat di kawasan ini, diajak bersama menjaga sekaligus membudidayakan Arwana. Program pemberdayaan masyarakat berupa pembesaran Arwana skala rumahan digulirkan sejak tahun 2017. Jumlah anak ikan arwana yang sudah diserahkan ke masyarakat sebanyak 274 ekor dan ke kelompok lainnya 100 ekor. Dalam tiga tahun, mereka berhasil mengembangkan Arwana menjadi ratusan ekor dalam satu kelompok masyarakat.
Menurut Gunawan, ini merupakan salah satu program unggulannya. “Program ini bukan hanya untuk menyejahterakan masyarakat saja, tapi juga merupakan salah satu upaya, agar konservasi ikan arwana bisa tetap terjaga. Ketika mereka panen, maka 10 persennya harus dikembalikan lagi ke alam,” kata Gunawan.
Dia bercerita, ketika pertama bertugas di TNDS lima tahun lalu, dia merasa mendapat penolakan dari masyarakat. Karena, biasanya pengelola cenderung lebih menjaga kawasannya dan melupakan peran masyarakat, yang kemudian termarjinalkan.
Di awal bertugas, Gunawan sudah mendapat penolakan dari 17 kepala desa. Begitu usai dilantik, 17 surat dari kepala desa diterimanya yang menyatakan ketidaksenangan, lantaran kehadiran pengelola kawasan dinilai merugikan masyarakat setempat, terlebih menyangkut perekonomian keluarga.
Gunawan mengatur strategi dan mengubah konsep. Dari awalnya pengelola menjaga kawasan, dibalik menjadi masyarakat yang menjaga kawasan. Dia memberikan peran besar bagi masyarakat, di antaranya adalah dengan program bantuan ikan-ikan tersebut. Bagaimana ikan-ikan arwana ini ditangkap, dipelihara kemudian dikembalikan lagi ke alam, ke habitatnya.
Enam bulan dia melakukan pendekatan dengan program-programnya. Hingga kemudian 17 kepala desa tersebut berbalik memberi dukungan. “Ketika mereka diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengembangkan ikan-ikan tersebut dengan bantuan bibitnya dari kita, otomatis mereka akan menjaga kawasannya. Ini meringankan tugas kita. Kita diuntungkan, mereka juga untung,” ucap Gunawan.
Dia membuat aturan-aturan dengan kearifan lokal, berbasis adat tradisional yang ada di masyarakat. Itulah salah satu keberhasilannya. **
Pewarta/Editor : Yuli.S
Discussion about this post