Alhasil, karena hutan seluas 332 hektar itu sebagian masih perawan, tim kesehatan pun tak jarang harus berjuang ekstra. Perjalanan tiga jam itu pas menggambarkan peribahasa Sunda, nete akar, ngeumbing jangkar alias menitiakar dan menggelantung pada surai pepohonan.
Dan benar kata orang Barat, no pain no gain. Segala kesulitan itu pun berbuah manis. Tanpa melalui strategi khusus, hanya mendatangi warga dari pintu ke pintu, dibantu warga yang membentuk tim-tim kesehatan terdiri dari 4-5 orang, plus pemuka adat dan aparat untuk pengamanan, vaksinasi pun berjalan lancar. Warga enam desa, yakni lima desa Kajang luar dan satu Desa Kajang dalam pun tervaksinasi.
“Dosis vaksinasi 1 mencapai sekitar 81 persen target. Vaksinasi tahap dua baru 50 persen. Yang ketiga yang masih tergolong rendah, baru 10 persen,”kata Muksin.
Soal dosis ketiga ini tersebar kabar, bahwawarga sudah merasa cukup dengan dua kali vaksinasi. Sementara ini warga banyak yang belum memahami bahwa vaksinasi booster adalah merupakan vaksinasi lanjutan yang juga harus diambil. “Ini tantangan tersendiri. Kami akan kembali lebih mengefektifkan gerakan door to door, kata Pak Bolong. Yang harus juga dipecahkan adalah formulasi waktu, karena masyarakat Kajang adalah masyarakat yang cukup sibuk berladang atau berburu. Mereka sering tidak berada di rumah pada saat-saat tertentu.
Sama dengan tantangan di Kajang, vaksinasi untuk kalangan difabel di Kabupaten Bantaeng, Makassar, pun memunculkan tantangan tersendiri. Vaksinasi kepada kalangan ini, dilakukan karena sebagaimana warga lainnya, mereka juga memiliki hak yang sama dan setara.
Pada sisi ini, baik Ibu Hera maupun Ibu Nur Aikisa, 31 tahun, seorang guru pendamping di Sekolah LuarBiasa (SLB) di Lasepang, Bantaeng, berperan sangat signifikan. Manakala Covid-19 merebak, kata Ibu Nur, dirinya tergerak melakukan usaha untuk memberikan penyuluhan tentang vaksinasi dan edukasi penerapan protokol kesehatan Covid-19, baik di sekolah, di rumah atau pun dalam keseharian bermasyarakat. Siswa-siswanya ia bekali agar mau dan taat dalam menggunakan masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, serta aturan lainnya.
Hal itu bahkan ia lakukan tidak hanya kepada siswa difabel, melainkan pula orang tua mereka. Didampingi tenaga Kesehatan yang tentu lebih kompeten menerangkan, Nur dengan cara sederhana, menggunakan gambar-gambar, menerangkan segala hal tentang Covid kepada para siswa didiknya yang mengalami difabel. Tujuannya, selain mereka mengerti, juga mau menjalani vaksinasi pada saatnya.
Di sisi lain, Ibu Hera yang dibantu 13 faskes, rumah sakit, klinik Bhayangkara dan klinik Kodim, bergerak melakukan vaksinasi untuk kaum difabel. Tim Kesehatan Kabupaten Bantaeng bahkan berkali-kali melakukan pendataan, menganalisis titik-titik lokasi warga difabel yang sulit dijangkau atau terisolasi. Setelah terdata, langsung mereka datangi.
Kabar-kabar hoaks juga menjadi tantangan besar buat tim. “Beredar kabar hoaks bahwa setelah divaksinasi akan sakit. Ada juga kabar bahwa dalam jangka dua tahun setelah vaksinasi, orang bisa meninggal. Macam-macamlah,”kata ibu Hera. Belum lagi banyaknya KIPI atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi berupa gejala dan keluhan yang timbul setelah vaksinasi, di antaranya demam, sakit sendi, dan lain-lain.
Untunglah, tim punya solusi tersendiri. “Karena sadar harus intens, kami pun mengusung program “Edutabo, atau Edukasi Tanpa Bosan’. Tim ini kerap memiliki jadwal padat seperti mengunjungi tempat-tempat pelayanan untuk mengedukasi, membagikan leaflet, dan memberikan vaksinasi.
Hasilnya? “Capaian vaksinasi tahap 1 sudah tergolong baik, yaitu sebesar 83 persen. Namun masih perlu peningkatan kembali agar bisa lebih mencapai target,” kata Hera, mengungkap data pers 22 Oktoberlalu. Sementara untuk vaksinasi tahap 2 baru mencapai sekitar 53 persen, dan vaksinasi booster baru 11,8 persen.
Hidup seolah meniscayakan akulturasi, target tim adat Kajang pun sederhana saja, layaknya prinsip hidup Suku Kajang yang mengajarkan 4 hal penting guna menjaga kesehatan, keamanan, serta keselamatan dunia akhirat, di antaranya; menjaga pandangan mata (hal yang dilihat), menjaga mulut (lisan yang diucapkan), menjaga tangan (hal yang dilakukan), serta menjaga kaki (setiap langkah hidup).
Demikian suku Kajang berharap kepada setiap masyarakatnya, maupun pengunjung yang ingin bertandang ke wilayah adat mereka. Ketika keempat hal ini dilakukan secara tulus sukarela untuk menjaga bumi, alam sekitar dan setiap penghuninya, maka tidaklah sulit bagi Suku Kajang untuk secara terbuka menerima vaksinasi sebagai bentuk kepedulian menjaga diri, orang lain, dan alam tempat mereka tinggal dari ancaman Covid-19.
Karena sesungguhnya kesadaran itulah yang mahal dan telah menjadi cara Suku Kajang hidup selama ini agar tetap lestari di alamnya. Sementara kesadaran dan dorongan kuat dari masyarakat Bantaeng perihal dalam perjuangan melawan Covid-19 sebenarnya tidak muluk-muluk.
“Yang kami inginkan sederhana saja, semua warga bisa divaksin, tahap satu, dua dan booster. Demi Kesehatan bersama,” kata Hera, mewakili tim tenaga kesehatan di salah satu unit layanan Kabupaten Bantaeng.
Demikianlah pelajaran dua kisah perjuangan kalangan terbatas Suku Kajang dan masyarakat difabel di Bantaeng. Keduanya berusaha hidup bersama alam dan penghuninya agar selamat dari Covid-19, dengan siap menerima vaksin lengkap sebagai bentuk pertahanan melindungi diri dan orang lain.**
Discussion about this post