Terakhir, pakar ekonomi dari Untan, Meiran Panggabean, menyebut pembangunan PLTN di Indonesia merupakan suatu keniscayaan karena Presiden Prabowo sudah memasukkannya dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN) 2025-2029. Selain itu, kata dia, PLTN sudah banyak dimanfaatkan banyak negara maju.
Meiran memaparkan studi kelayakan pembangunan PLTN di Kalbar juga sudah menunjukkan keamanan dari sisi geologi dan topografi. Dengan adanya PLTN, ia optimistis Kalbar bisa berhenti melakukan impor listrik dari Malaysia. Bahkan, PLTN bakal membuat produksi listrik surplus hingga bisa diekspor ke negara tetangga.
“Jadi tinggal hitungan efisiensi, apakah lebih murah dan lebih fleksibel untuk menopang industri seperti alumina. Kalau itu terpenuhi, bahkan kita bisa punya potensi mengekspor listrik,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Indonesia masih ketergantungan akan energi fosil dan emisi tinggi. Sekitar 66 persen listrik Indonesia masih berasal dari batu bara dengan kontribusi pada sektor energi menyumbang sekitar 650 juta ton karbon dioksida pada 2022. Energi bersih yang bersifat renewable hanya mencakup sekitar 13-15 persen dari total kapasitas listrik. Padahal, pemerintah menargetkan 23% pada 2025.
Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mempersiapkan draft Peraturan Presiden yang mengatur Badan Pembangunan Pembangkit Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO). Perpres tersebut ditargetkan akan rampung tahun ini.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan, kehadiran Perpres itu akan menjadi dasar untuk mengeksekusi pembangunan pembangkit nuklir pertama di Tanah Air.
Dia mengatakan draft awal peraturan tersebut sudah dibahas bersama Dewan Energi Nasional (DEN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Sekretariat Negara dan Kementerian Hukum.
“Kami sudah berdiskusi,” kata Eniya beberapa waktu yang lalu.*









Discussion about this post