“Chat GPT seperti layaknya personal editor. Kita yang memasukkan konten dan data, AI menulisnya dengan cepat. Tapi kita tetap perlu memeriksa kembali hasilnya, agar tidak terjadi penyebaran berita bohong,” tegas Haresti.
Menurutnya, AI belum sepenuhnya diterapkan, namun beberapa media sudah mengaplikasikannya. Seperti untuk bantuan penerjemahan, editing foto, video dan mencari ide penulisan. Haresti meyakini, ke depan pasti akan semakin banyak media yang menggunakan AI dalam praktik jurnalisme.
“Sebagai jurnalis, perlu kehati-hatian dalam penggunaan AI, karena Dewan Pers sendiri sudah punya peraturan yang mengatur tentang penggunaannya. Dari segi manfaat, AI memang sangat membantu, namun tetap dibutuhkan check lagi ke sumber yang kredibel,” imbuhnya.
Haresti menekankan pentingnya prinsip-prinsip sebagai media dalam menggunakan AI pada praktik jurnalisme, serta etika-etika yang harus dipenuhi sebagai standar profesi wartawan.
“Dari segi manfaat, AI memang sangat membantu tugas jurnalis, namun tetap perlu chek lagi ke sumber yang dipercaya. Artinya, janganlah sepenuhnya percaya kepada AI, karena kendali tetap ada pada kita,” tegasnya.
AI sejatinya digunakan untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi, namun penggunaannya harus etis dan transparan dengan pengawasan manusia, guna memastikan akurasi dan kepatuhan terhadap kode etik.
Dewan Pers sendiri telah menerbitkan pedoman penggunaan AI untuk menjaga integritas jurnalistik dan prinsip-prinsipnya. Dewan Pers telah menerbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam karya jurnalistik.
Pedoman ini menegaskan, bahwa AI harus digunakan secara etis dan terkendali di bawah supervisi manusia. Penggunaan AI dalam konten juga harus disertai dengan disclaimer (penafian) untuk memberikan pertanggungjawaban kepada pembaca. **
Discussion about this post