Terakhir, sebagai Pengambil Keputusan berdasarkan Risiko, pemimpin harus menggunakan data makro strategis, kerentanan sosial, dan indikator risiko lainnya untuk membuat keputusan yang bijak.
Dalam kegiatan tersebut, Rudy juga mengambil contoh cerita kesuksesan di Provinsi Kalimantan Barat terkait Penanganan Karhutla dari upaya reaktif menjadi preventif, dimana hal tersebut ditandai dengan transformasi strategis dari budaya risiko di lapangan.
Diskusi pada kegiatan siang hari itu juga diperkaya dengan materi yang disampaikan oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan Ayi Riyanto yang juga menjadi influencer dalam kegiatan tersebut.
Dalam paparannya, Ayi menekankan, membangun budaya risiko yang efektif memerlukan empat pilar kepemimpinan utama, yaitu menjadi panutan (Role Model), menyampaikan pesan eksplisit, memberikan insentif, serta menunjukkan simbol dan tindakan nyata.
“Keteladanan dinilai jauh lebih berpengaruh dibandingkan instruksi formal, sementara kejelasan kebijakan dan penghargaan atas pengelolaan risiko menjadi kunci agar risiko tidak diabaikan dalam rutinitas organisasi,” ungkapnya.
Kepemimpinan pun harus konsisten antara ucapan dan perbuatan—walk the talk—untuk menciptakan dampak simbolis yang kuat dalam pembentukan budaya risiko, jelasnya lagi.
Diakui oleh Rudy, pembentukan kepemimpinan risiko untuk membangun budaya risiko memerlukan waktu yang tidak sedikit.
“Ketika bicara budaya risiko, harus ada shifting paradigm dalam melihat manajemen risiko. Hal tersebut betul-betul memerlukan proses peresapan nilai bersama,” ujarnya
Kegiatan “Library Cafe Auditing MRPN Series #4” tersebut diharapkan menjadi katalisator bagi seluruh unsur pemerintah pusat dan daerah. Hal ini akan membuat semakin disadari pentingnya kepemimpinan risiko dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berdaya tahan.**
Discussion about this post