Amanda McLoughlin, Minister-Counsellor for Development, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta mengatakan, Inggris bangga mendukung inisiatif penting ini melalui Digital Access Programme dan bekerja sama dengan SAFEnet.
“Riset ini dan keseluruhan program mencerminkan komitmen kami dalam mendorong akses dan pemanfaatan teknologi digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan—agar tidak ada yang tertinggal di era digital,” ujarnya.
“Dengan berfokus pada pengalaman nyata penyandang disabilitas, khususnya komunitas penyandang disabilitas netra dan tuli, kami turut membentuk lanskap digital yang lebih adil di Indonesia, kata Amanda.
Dia menyampaikan, bahwa temuan riset ini menjadi panggilan bagi semua pemangku kepentingan untuk memprioritaskan aksesibilitas dan inklusi dalam layanan publik digital.
“Seiring kita menandai tahap akhir program ini, Pemerintah Inggris tetap berkomitmen mendukung perjalanan Indonesia menuju masyarakat digital yang inklusif, di mana teknologi memberdayakan seluruh warga, untuk berpartisipasi secara penuh dan setara, tanpa kecuali,”imbuhnya.
Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet menambahkan, kolaborasi ini adalah langkah konkret untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman, setara, dan inklusif bagi semua.
“Kami meyakini bahwa tidak seorang pun boleh tertinggal dalam mengakses ruang digital, termasuk mereka yang memiliki disabilitas fisik,” ucap dia.
Menurut Nenden, pendekatan advokasi kebijakan dalam program ini tidak hanya berbasis analisis teknis, tetapi juga bersumber dari data, pengalaman nyata, dan kesaksian langsung komunitas disabilitas.
Hal ini memperkuat legitimasi rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dan memastikan suara komunitas menjadi penggerak utama perubahan di tingkat lokal.
“Bagi kami, inklusi bukan sekadar tambahan, melainkan prinsip kerja utama. Dengan melibatkan penyandang disabilitas sebagai pelatih, mitra, dan perancang program, kami belajar bahwa transformasi digital yang adil harus dibangun bersama, dari bawah,” tegas Nenden.
Sementara Nabila May Sweetha, peserta tunanetra sekaligus penguji situs web, mengungkapkan sering mengalami kesulitan saat mengakses situs layanan publik karena keterbatasan.
“Ini adalah pertama kalinya pandangan kami tentang aksesibilitas digital benar-benar didengarkan,” ujarnya.
Christianto Harsadi, aktivis Tuli yang terlibat dalam pengembangan modul pelatihan digital menambahkan, pendidikan digital untuk komunitas Tuli sangat jarang dibahas—apalagi yang dipimpin langsung oleh individu Tuli.
“Modul ini akan menjadi panduan pelatihan yang dapat disampaikan oleh fasilitator Tuli di komunitas mereka masing-masing,”imbuhnya. **
Discussion about this post