“Saya lalu menanyakan kepada marketing, berapa sisa uang yang harus dilunasi. Tanggal 5 Mei, saya diinformasikan bahwa jumlah yang harus dilunasi sebesar Rp195.357.401. Nilai tersebut membuat saya syok, karena selama 2022, saya sudah menyetorkan angsuran beberapa kali,” ujarnya.
Merasa tidak puas, Juju lalu meminta cetakan rekening koran. Ternyata ada uang mengendap Rp 45 juta, sehingga akhirnya untuk pelunasan ia cukup membayar Rp151.400.000.
Pelunasan pun dilakukan pada 7 Mei 2025. Namun, hingga saat ini (19/5), SHM belum diserahkan oleh pihak bank kepadanya. Geram dengan perlakuan BPR tersebut, dia mendatangi kantor BPR Universal. Bahkan melaporkan kasus yang dialaminya itu ke pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Setelah saya tanya, barulah disuruh ambil. Namun, anehnya saya malah disuruh bawa bukti tanda terima penyerahan SHM. Sementara, perjanjian/kontrak kerja sama saja saya tidak dikasih. Saya lalu disuruh ke kantor polisi untuk buat surat kehilangan. Saya di sini merasa dirugikan, dipersulit, hingga usaha saya tertunda,” katanya.
Dia juga merasa aneh saat pengambilan sertifikat, pihak bank ada menyuruh dia menandatangi sebuah kesepakatan bahwa pihak bebas dari tuntutan hukum. Tapi ditolak oleh Juju ditandatanganinya. Manager bank universal juga enggan memberi klarifikasi dan menemuinya saat didatangi kekantornya.
Oleh karena itu, ia berharap OJK dapat mengambil tindakan. Pihak bank juga diharapkan lebih transparan dalam pembiayaan dan memberikan kejelasan kepada nasabah tentang kontrak. Hal ini dilakukan jangan sampai apa yang dialaminya terjadi lagi dengan yang lain.**
Discussion about this post