“Sebagai contoh, di sisi pendidikan, harapan lama sekolah pada tahun 2020 sebesar 12,60 tahun dan terus meningkat menjadi sebesar 12,68 tahun pada tahun 2024, tetapi masih di bawah capaian nasional tahun 2024 sebesar 13,21 tahun,” jelasnya.
Di sisi kesehatan, usia harapan hidup terus meningkat, yaitu pada tahun 2020 sebesar 70,69 tahun menjadi sebesar 71,55 tahun pada tahun 2024, tetapi di bawah capaian nasional tahun 2024 sebesar 72,39 tahun.
Berita baiknya, di sisi kesejahteraan, tingkat kemiskinan Kalimantan Barat pada tahun 2020 sebesar 7,17 persen menjadi sebesar 6,32 persen pada tahun 2024, lebih baik dari capaian nasional tahun 2024 sebesar 9,03 persen.
Selain itu, rasio gini yang mengindikasikan kesenjangan pendapatan semakin menurun, yaitu pada tahun 2020 sebesar 0,317 menjadi sebesar 0,310 pada tahun 2024, yang lebih baik dari capaian nasional tahun 2024 sebesar 0,379.
Rudy kemudian juga menjelaskan beberapa isu strategis di Kalimantan Barat.
“Kalau kita lihat di program pendidikan, aksesibilitas dan kualitas pendidikan masih menjadi isu strategis. Begitu juga serapan lulusan sekolah ke dunia kerja,” katanya.
Perbedaan kondisi dan beban tetap antar sekolah juga belum diperhatikan pada alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) ada yang tidak tepat sasaran, jelasnya.
Dalam hal kesehatan, jumlah Puskesmas belum memenuhi standar WHO, pemberian insentif tenaga kesehatan di daerah terpencil rendah, dan infrastruktur pendukung transformasi teknologi kesehatan kurang, tambahnya.
“Dari segi governansi pengungkit, kita punya beberapa isu penting, seperti perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah belum berkualitas, dengan risiko program/kegiatan yang tidak efektif senilai Rp106,08 miliar dan tidak efisien senilai Rp 681,11 juta, tahun 2024 saja,” jelasnya.
Kemudian, strategi pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan belum berjalan sesuai dengan baik, yang akhirnya memunculkan risiko dikotomi sekolah favorit dan sekolah non favorit dan pembangunan infrastruktur tidak sesuai dengan desa lokus stunting.
Akuntabilitas pembangunan daerah juga belum memuaskan, seperti temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berulang, predikat kinerja belum baik, dan tindak pidana korupsi masih sering terjadi.
“Pengawasan APIP Daerah juga belum memberikan rekomendasi strategis dan masih pada hal yang operasional. Kolaborasi lintas instansi juga belum berjalan dengan baik,” pungkas Rudy.**
Discussion about this post