ADVERTISEMENT
  • News
  • Komoditi
  • Travel
  • Otomotif
  • Entertainment
    • Lifestyle
    • Musik
    • Film
  • Sosok
  • Galery
  • Sport
  • Properti
Selasa, Juli 1, 2025
Matrabisnis
  • News
  • Komoditi
  • Travel
  • Otomotif
  • Entertainment
    • Lifestyle
    • Musik
    • Film
  • Sosok
  • Galery
  • Sport
  • Properti
No Result
View All Result
  • News
  • Komoditi
  • Travel
  • Otomotif
  • Entertainment
    • Lifestyle
    • Musik
    • Film
  • Sosok
  • Galery
  • Sport
  • Properti
No Result
View All Result
MATRA BISNIS
No Result
View All Result
  • About matrabisnis.id
  • ads BW-Media
  • Ads Meikarta
  • Contact Us
  • Galery
  • Home Page
  • Matra Bisnis
  • MB-ads
  • Pedoman Media Cyber
  • Redaksi
ADVERTISEMENT
Home OPINI

Pemilu dan Industri Buzzer dalam Perspektif Ekonomi Politik di Indonesia

Matrabisnis by Matrabisnis
27 Februari 2024
in OPINI
Reading Time: 13 mins read
A A
Sulaiman,S.Sos.,M.Si. Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.(ist)

Sulaiman,S.Sos.,M.Si. Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya.(ist)

ADVERTISEMENT

Riuhnya panggung politik di Indonesia di media sosial menjadi sebuah tambang emas bagi para pelaku industri buzzer. Bradshaw & Howard (2019) menjelaskan bahwa buzzer di Indonesia digaji mulai dari 1 hingga 50 juta Rupiah. Menurut laporan koresponden ABC Australia, mengatakan bahwa partai politik berani membayar buzzer sebesar US$ 500 untuk setiap konten yang diunggah.

Sebuah Partai Politik memahami dan menyadari betul perlunya memberi perhatian yang cukup untuk membangun suatu citra yang menguntungkan, partai politik membutuhkan terciptanya citra positif partai sebagai asset untuk meraih simpati (Muchtar, 2016). Dalam laporan itu pula, komentator politik Indonesia, Denny Siregar pernah ditawarkan menjadi seorang buzzer partai politik dengan bayaran US$ 1000 per bulan namun Denny menolak penawaran tersebut.

READ ALSO

Kartini di Bumi Borneo

BPKP Jaga Reputasi dan Integritas

Selain itu ada pula buzzer yang menawarkan suatu paket dimana mereka akan mencari berbagai keburukan dari lawan politik dari pengguna jasa dengan harga 200 juta perbulan. Beberapa fakta tersebut menegaskan bahwa pesta demokrasi di Indonesia turut menumbuhkan industri-industri yang sejatinya menghancurkan mentalitas bangsa.

Meskipun pada akhirnya buzzer politik merupakan implikasi dari sistem demokrasi (Syahputra, 2017), namun upaya untuk memperbaiki paradigma cara kerja buzzer harus terus dilakukan oleh semua pihak. Pelaku industri buzzer dapat dikatakan sebagai orang-orang yang menganut paham kapitalis karena mereka menggunakan momentum pemilihan umum untuk mengekspansi bisnisnya.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, terdapat indikasi bahwa buzzer politik menjadi suatu industri yang memiliki relasi dengan berbagai aktor dalam meraih ataupun mempertahankan kepentingan politik. Selain itu, terdapat pula motif ekonomi dibalik kerja buzzer dibalik relasi dengan aktor-aktor tersebut. Fenomena ini menunjukkan, bahwa teori ekonomi politik dinilai mampu untuk menjelaskan fenomena industri buzzer politik. Adapun fenomena industri buzzer di Indonesia akan dibedah menggunakan konsep spasialisasi, strukturasi dan komodifikasi.

Dalam ranah media online, spasialisasi menjelaskan tentang upaya untuk menghilangkan batasan ruang dan waktu melalui teknologi komunikasi. Buzzer politik tidak hanya bekerja pada media sosial seperti twitter saja namun Instant messaging seperti whatsapp menjadi salah satu media yang menjadi sasaran mereka (Bradshaw & Howard, 2019).

Penggunaan whatsapp dalam hal ini akan memperluas jangkauan penerima pesan kampanye politik. Di negara selain Indonesia bahkan sangat mungkin industri buzzer mengembangkan bisnis peretasan akun orang-orang penting untuk menyampaikan kampanye politik (Bradshaw & Howard, 2019).

Website menjadi salah satu media yang digunakan oleh buzzer untuk memperluas jangkauan penerima. Pada konteks Pemilu 2019, Dewan Pers memetakan 43.000 situs online yang mengklaim sebagai portal berita, namun dari jumlah tersebut hanya 300 situs saja yang terverifikasi  (Murwani & Elmada, 2019).

Situs portal berita yang tidak terverifikasi tersebut sebagian besar diproduksi oleh buzzer politik (Murwani & Elmada, 2019). Situs online sebagai portal berita merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk membuka lowongan  bagi  pengiklan. Fakta tersebut membawa  kita  pada  suatu  gagasan bahwa pada akhirnya pelaku industri buzzer memainkan berbagai lini bisnis selain bisnis utamanya dalam menyampaikan kampanye politik.

Dalam fenomena buzzer politik, struktur sosial saling ditegakkan oleh agen- agen yang terlibat didalamnya seperti pemerintah, pelaku industri buzzer, tokoh publik dari partai politik atau ormas bahkan publik secara umum. Agen-agen tersebut saling melayani satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Berdasarkan bahasan pada bagian sebelumnya, pemerintah membutuhkan pelaku industri buzzer untuk menjaga nama baiknya dengan cara membalas serangan buzzer yang mencoba untuk merusak citranya. Adapun buzzer pemerintah mendapat perlindungan khusus sehingga kekuatan mereka di media sosial tidak akan berkurang.

Fenomena JASMEV pada pilkada DKI tahun 2012 menggambarkan bahwa kandidat politik dan publik secara umum saling terhubung  sehingga  muncullah  buzzer  relawan  yang  tidak  berbayar.  Agensi komunikasi yang masuk dalam kelompok industri turut memiliki peran dalam menentukan tarif serta memperbanyak akun palsu yang akan digunakan oleh para buzzer (Mustika, 2019).

Strukturasi pada ekonomi politik media turut berkaitan dengan pergerakan sosial yang ada di masyarakat. Dalam konteks media online, pergerakan masyarakat dapat dinilai dengan adanya dukungan atau partisipasi terhadap konten-konten  yang  ada  di  media  sosial.  Buzzer  politik  kerap  memproduksi pesan-pesan kampanye politik dengan nada yang provokatif, sehingga sangat mungkin pengguna media sosial lainnya turut memberikan komentar atau bahkan  membagikannya (share) kepada pengguna lainnya.

Bahkan seseorang yang memiliki ideologi yang sama dengan akun buzzer tertentu akan membantunya dengan membagikannya secara rutin. Namun pergerakan sosial dalam memutus pesan-pesan yang diproduksi dapat dinilai susah karena buzzer kerap bekerja dengan menggunakan akun-akun palsu yang jumlahnya banyak.

Proses strukturasi menimbulkan sebuah tindakan dan perubahan sosial yang pada dipengaruhi oleh struktur sosial seperti gender, kelas, ataupun ras. Pada periode Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, buzzer politik kerap memproduksi konten-konten yang bermuatan isu agama. Hal ini dinilai telah menimbulkan politik sesama di masyarakat dimana orang-orang akan memilih paslon tertentu atas kesamaan kepercayaan (Lestari,  2019).

Bahkan isu agama dinilai telah menjadi konsumsi kelompok kelas menengah yang dalam hal ini mereka mulai mentransformasikan  identitasnya  melalui  perilaku  konsumsi  produk-produk islam termasuk preferensi dukungan politik (Triantoro, 2019).

Pesan-pesan yang diproduksi oleh buzzer di media sosial seolah-olah menimbulkan hegemoni bahwa pertarungan politik yang benar adalah pertarungan yang mereka lakukan. Sebagian besar pengguna media sosial pada akhirnya menganggap hal ini lumrah dan melihat cara pandang dunia politik adalah seperti yang digambarkan oleh para buzzer.

Seperti yang telah dipaparkan oleh Bradshaw & Howard (2019), buzzer telah menjadi bagian dari sistem propaganda politik suatu negara. Bradshaw & Howard menyebutkan bahwa tiap tahun terjadi peningkatan jumlah negara yang menggunakan media sosial sebagai alat untuk melancarkan propaganda politik, adapun pada tahun 2017 terdapat 28 negara sedangkan ditahun 2019 terdapat 70 negara.

Hal tersebut semakin menguatkan bahwa telah terjadi hegemoni di mana cara berpolitik saat ini adalah saling menjatuhkan lawannya di media sosial. Sistem berpolitik seperti ini pun turut dilanggengkan oleh pemerintah Indonesia.

Berbagai hal tersebut membawa pada suatu gagasan pada akhirnya kemajuan teknologi tidak hanya membawa hal-hal yang positif. Namun di tangan orang yang salah, media sosial berubah menjadi alat untuk mempengaruhi cara berfikir masyarakat, dengan cara yang dinilai negatif. Bahkan media sosial dapat menjadi saluran untuk menyampaikan ideologi dari pihak-pihak yang berkuasa.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan peran agency untuk mengubah paradigma buzzer  sebagai  industri  yang  merusak  sistem  demokrasi  suatu  negara.  Agency dalam hal ini adalah agen-agen yang dapat melawan struktur yang berupa kontrol (Ashaf, 2006). Agency secara umum dilihat dalam konteks mikro sebagai seorang individu,  namun  konsep  tersebut  dapat  pula  merujuk  pada  suatu  tindakan kolektif (makro) (Nursatyo, 2012). Dalam hal ini, siapapun bisa menjadi agency baik itu individu, kelompok masyarakat, bahkan pemerintah.

Peran  buzzer  dalam  aktivitas  kampanye  politik  tidak  bisa  lepas  dari terjadinya komodifikasi konten kampanye politik. Segala hal mampu diubah sebagai komoditas untuk memperkaya pemiliki media. Dalam ranah komunikasi, komoditas tersebut ditransformasi menjadi sebuah konten yang memiliki tujuan tersembunyi disamping tujuan utamanya. Pesan yang diproduksi oleh buzzer cenderung tidak memiliki substansi yang kuat dan terkesan menjatuhkan lawan politiknya melalui ejekan yang murahan. Pesan-pesan yang diproduksi oleh buzzer tidak hanya

Munculnya konten-konten yang tidak substansial dapat dipetakan dalam beberapa motif. Pertama, buzzer politik harus memproduksi pesan dalam jumlah banyak  dalam  waktu  yang singkat, terlebih mereka harus mencapai  trending topic, sehingga pembuatan konten yang memiliki substansi politik sangat tidak mungkin dilakukan.

Kedua, penggunaan robot (bot) sebagai alat untuk mengamplifikasi pesan ataupun tagar dalam untuk mencapai trending topic. Ketiga, pesan yang bersifat menyerang merupakan konten-konten yang disukai oleh sebagian besar pengguna media sosial sehingga pesan tersebut mudah teramplifikasi di media sosial. Berdasarkan perspektif ekonomi politik, hal ini lumrah terjadi karena pola pikir industri adalah menggunakan sumber daya yang terbatas untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Industri Buzzer politik tidak lepas dari terjadinya komodifikasi terhadap pengguna media sosial  yang dalam hal ini merupakan  kelompok  khalayak. Komodifikasi khalayak berhubungan dengan rating yang dihasilkan dari konten media dimana rating tersebut ditawarkan kepada para pengiklan dengan khalayak sebagai tolak ukur. Khalayak dinilai sebagai komoditas untuk meningkatkan keuntungan finansial dari perusahaan buzzer. Hal ini turut menjadi pertimbangan bagi calon pengguna jasa buzzer agar kampanye mereka sesuai dengan target pasar.

Pengguna media sosial dalam hal ini telah diubah menjadi suatu komoditas yang dijual oleh buzzer. Banyaknya follower yang dimiliki oleh buzzer ataupun popularitas dari suatu tokoh akan menentukan tingginya tarif yang ditawarkan kepada calon pengguna. Judul-judul berita yang bersifat click bait menjadi umpan bagi pengguna media sosial untuk mengunjungi situs portal berita yang telah dibanjiri oleh para pengiklan. Tanpa disadari, khalayak telah menjadi alat untuk meningkatkan keuntungan finansial dari pelaku industri buzzer.

Pekerja pada industri buzzer kerap menciptakan berbagai konten kampanye yang bersifat provokatif. Hal tersebut dimaksudkan agar pengguna media sosial turut menjadi pekerja buzzer dimana mereka membagikan konten-konten buzzer pada akun media sosial masing-masing. Terlebih jika pengguna media sosial memiliki ideologi yang sama dengan konten-konten yang disampaikan oleh para buzzer, proses sharing akan berlangsung lebih cepat dan secara masif.

Hal ini memperlihatkan, bahwa pada akhirnya khalayak dijadikan komoditas agar pelaku industri tidak perlu mengeluarkan modal lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Realitas  ini menggambarkan bahwa, membangun hubungan buzzer dengan pengguna media social menjadi penting, agar dapat memanfaatkan media social secara tepat seperti halnya pemanfaatan E-mail, blog, ataupun Twitter (Muchtar & Aliyudin, 2019)

Fenomena buzzer politik di media sosial tidak terlepas dari terjadinya komodifikasi terhadap pekerja. Komodifikasi pekerja berhubungan dengan tugas mereka dalam memproduksi dan mendistribusikan produk media yang mungkin saja  tidak  sesuai  dengan  upah  ataupun  beban  kerja. Penguasa dalam hal ini memiliki kontrol terhadap pekerja untuk meningkatkan profit finansial. Pekerja dalam hal ini memiliki tugas untuk menjadikan khalayak sebagai komoditas.

Berdasarkan alur kerja yang dilakukan oleh buzzer yang dijelaskan oleh Felicia (2019), buzzer profesional akan mengadakan open recruitment terhadap kalangan  mahasiswa  yang  memiliki  pandangan  ideologi  yang  sama  terhadap calon pasangan tertentu. Buzzer profesional sengaja memilih kalangan muda karena mereka memiliki keahlian menggunakan teknologi serta memiliki kreativitas yang tinggi dalam menyusun suatu pesan.

ADVERTISEMENT

Meskipun di balik canggihnya anonimitas, mereka merasa tidak nyaman bekerja karena jeruji besi telah menunggu para mahasiswa jika mereka dilaporkan menggunakan UU ITE. Para mahasiswa dalam hal ini telah terjerumus dalam sisi gelap kampanye politik yang seharusnya bisa menjadi ajang untuk mendewasakan cara berfikir mereka tentang dunia politik. Jika benar para tokoh elit politik yang menggerakan dan mendanai buzzer maka mereka telah berperan dalam merusak cara berpolitik kaum muda.

Buzzer yang pada awalnya dimaknai sebagai suatu aktor yang bertugas untuk mengamplifikasi pesan di media dalam konteks promosi bisnis telah mengalami pergeseran konsep akibat kontestasi politik di dunia. Pergeseran konsep turut dipengaruhi oleh momentum pemilihan presiden di Amerika Serikat yang dalam hal ini dikotori oleh berbagai pesan-pesan provokatif oleh buzzer politik.

Di Indonesia sendiri, buzzer turut dimaknai sebagai kaki tangan suatu pihak untuk mencapai tujuan politiknya dengan cara menyampaikan pesan-pesan yang provokatif atau bersifat   menyerang isu pribadi. Berdasarkan beberapa momentum tersebut, pada akhirnya buzzer sendiri menjadi konsep yang secara umum berada dalam konteks politik dan memiliki stereotip negatif.

Temuan penelitian ini menunjukan bahwa terdapat relasi antara berbagai aktor yang ingin mencapai tujuan politiknya dengan menggunakan buzzer politik. Dalam konteks mempertahankan kekuatannya, Pemerintah diindikasikan telah menggunakan buzzer politik untuk melakukan perlawanan terhadap serangan konten-konten dari pihak oposisi. Bahkan aktor pengelola buzzer pemerintah tersebut diindikasikan mendapat imbalan dalam bentuk kursi jabatan dalam suatu institusi.

Adapun dalam konteks kontestasi politik, berbagai aktor dari pihak oposisi diindikasikan turut   menjadi buzzer politik dengan menyampaikan berbagai isu SARA. Pada akhirnya, seluruh aktor yang terlibat dalam fenomena industri buzzer dinilai telah menciptakan suatu hegemoni bahwa cara berpolitik dengan mekanisme saling serang atau memprovokasi adalah cara berpolitik yang benar.

Regulasi merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pihak pengeuasa untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. UU ITE yang awalnya dirancang untuk memberikan keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi maupun berkomunikasi melalui internet, dalam implementasinya menjadi alat bagi suatu pihak untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dalam hal ini, UU ITE yang bertugas  sebagai  landasan  hukum  bagi  ujaran  kebencian  tidak  bekerja  pada buzzer-buzzer politik di pihak yang berkuasa. Selain itu, UU ITE tetap digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menjerat pihak-pihak oposisi yang melontarkan ujaran kebencian. Pihak yang berkuasa dinilai secara sengaja membiarkan fenomena ini terjadi sehingga mereka tetap mampu mempertahankan kekuasaannya.

Berdasarkan teori ekonomi politik, buzzer telah melakukan praktik spasialisasi, komodifikasi serta telah melanggengkan strukturasi dalam industri buzzer itu sendiri. Pelaku Industri buzzer telah memanfaatkan momentum kontestasi politik di Indonesia untuk mendapatkan profit finansial. Isu mengenai identitas ataupun kehidupan pribadi seseorang telah diubah menjadi suatu komoditas  untuk menciptakan pesan-pesan politik yang kurang berkualitas.

Buzzer politik telah menggunakan segala lini media sosial untuk melancarkan aksinya, sehingga dapat memperluas jangkauan khalayak. Industri buzzer pada akhirnya dinilai sebagai kemunduran dalam menggunakan media komunikasi, karena turut menyampaikan pesan-pesan yang dinilai tidak mengindahkan berbagai etika. **

Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya. E-mail: imansulaiman137@yahoo.co.id HP/WA: 0896 7884 8366.

Page 2 of 2
Prev12
Tags: M.SiPeneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas BrawijayaS.SosSulaiman
ADVERTISEMENT
Previous Post

Honda Stylo 160 Jadi Primadona di IIMS 2024

Next Post

Indosat Gandeng Huawei Kembangkan Inovasi Berbasis AI

Related Posts

Kartini di Bumi Borneo
OPINI

Kartini di Bumi Borneo

5 Februari 2025
BPKP Jaga Reputasi dan Integritas
OPINI

BPKP Jaga Reputasi dan Integritas

21 April 2024
Kebijakan Pemerintah Terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia
OPINI

Kebijakan Pemerintah Terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia

2 April 2024
Konstanta Historis dalam Penguatan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas 2045
OPINI

Konstanta Historis dalam Penguatan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas 2045

21 Desember 2022
Belajar Mengasah Kepekaan Hidup Bersama Alam dan Manusia
OPINI

Belajar Mengasah Kepekaan Hidup Bersama Alam dan Manusia

8 November 2022
Nepotisme Rajapaksa Membutakan Sri Lanka sampai Dilanda Krisis
OPINI

Nepotisme Rajapaksa Membutakan Sri Lanka sampai Dilanda Krisis

16 Juni 2022
Next Post
Indosat Gandeng Huawei Kembangkan Inovasi Berbasis AI

Indosat Gandeng Huawei Kembangkan Inovasi Berbasis AI

Dari IIMS 2024, PLN Bawa Kesepakatan Kerjasama Home Charging Service dengan BYD Motor

Dari IIMS 2024, PLN Bawa Kesepakatan Kerjasama Home Charging Service dengan BYD Motor

PLN Dapat Penghargaan Most Interactive Booth di IIMS 2024

PLN Dapat Penghargaan Most Interactive Booth di IIMS 2024

Discussion about this post

English   Indonesian

Pos-pos Terbaru

  • Terobosan Baru Pegadaian: Emas Fisik Kini Bisa Langsung Jadi Tabungan Emas
  • SIMPATI Sang Trendsetter Kini Lebih Digital
  • GIWATA Borneo Expo 2025 X Gebyar Kalbar Dibuka
  • DJPb Ungkap Kinerja APBN di Kalbar Tetap Ekspansif
  • Raih Mimpi Bersama Bank Kalbar, Coffee Shop Ruang Kertjah Sukses
ADVERTISEMENT

Tentang Matrabisnis.id

Matrabisnis.id adalah media online pengembangan dari media cetak Matra Bisnis yang berbentuk tabloid dan terbit secara mingguan setiap hari Rabu. Matra Bisnis merupakan media cetak pertama di Kalimantan Barat, yang fokus pada berita-berita ekonomi dan terbit perdana pada tahun 2015.

Kategori

  • ADVERTORIAL
  • Bursa
  • Digital
  • Ekonomi Bisnis
  • Entertainment
  • Film
  • Internasional
  • Kedai
  • Kesehatan
  • Komoditi
  • Lifestyle
  • Musik
  • News
  • OPINI
  • Otomotif
  • PROMOTED
  • Properti
  • Sosok
  • Sport
  • Tak Berkategori
  • Tekno
  • Travel

Recent Posts

  • Terobosan Baru Pegadaian: Emas Fisik Kini Bisa Langsung Jadi Tabungan Emas
  • SIMPATI Sang Trendsetter Kini Lebih Digital
  • GIWATA Borneo Expo 2025 X Gebyar Kalbar Dibuka
  • DJPb Ungkap Kinerja APBN di Kalbar Tetap Ekspansif

Copyright Matra Bisnis @2023

No Result
View All Result
  • News
  • Komoditi
  • Travel
  • Otomotif
  • Entertainment
    • Lifestyle
    • Musik
    • Film
  • Sosok
  • Galery
  • Sport
  • Properti

Copyright Matra Bisnis @2023

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.