Lantaran saat ini, sektor sumber daya alam mentah masih menjadi penopang terbesar perekonomian Kalimantan Barat. Kendati berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mendorong industrialisasi di provinsi ini.
“Dunia industri manufaktur di Kalbar tergolong mengalami stagnasi, di mana sebagian besar ekspor kita masih berupa bahan mentah seperti CPO (minyak sawit mentah) dan bauksit,” kata dia.
Hal serupa menjadi potret kondisi industri nasional. Menurut Eddy, deindustrialisasi itu nyata, Indonesia tidak pernah mencapai level industrialisasi 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Level industrialisasi tertinggi yang pernah dicapai adalah, 29,1 persen pada 2001. Setelah itu menurun secara konsisten. Data sementara PDB 2018 kuartal III, level industrialisasi hanya di angka 19,7 persen.
Padahal, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yakni sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, dan industri pengolahan. Termasuk di dalam sektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pertanian perkebunan, seperti padi, sawit, dan karet. Termasuk dari industri pengolahan alumina dan bauksit.
Menurut Eddy Suratman, faktor penghambat utama pembangunan Kalbar terkait dengan aspek kapasitas sumber daya manusia. “Rerata lama menempuh pendidikan masyarakat kita, yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia masih relatif rendah. Selain itu, terkait aspek infrastruktur serta akses listrik, sanitasi, dan air bersih juga relatif rendah. Begitu juga rasio jalan dengan kondisi baik, relatif kasih rendah,” ujarnya. **
Discussion about this post