Dalam kesempatan terpisah, Ketua Banggar (Badan Anggaran) DPR RI, Said Abdullah menyebut desain RAPBN 2023 tersebut optimistis dan realistis, karena bisa tercapai, meski kondisi domestik maupun global belum sepenuhnya membaik.
Ia pun mengingatkan, kondisi naiknya harga komoditas yang telah membantu pos penerimaan pada APBN tahun ini, belum tentu terjadi di tahun 2023, sehingga perlu adanya upaya untuk menarik penerimaan dari sektor potensial lainnya dan mengurangi ketergantungan dari sektor komoditas. “Tahun ini surplus (anggaran) Rp 106 triliun, memang kita dapat profit dari harga komoditas. Yang dikhawatirkan, pada titik tertentu harga komoditas ada di titik jenuh dan tidak bisa terus naik, stuck dan kemudian dia turun,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebutkan asumsi pertumbuhan ekonomi pemerintah yang diproyeksikan 5,3 persen dalam RAPBN 2023 sebagai tantangan besar. Sasaran tersebut merupakan tantangan, karena pada saat yang sama, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 2,85 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sudah tidak lagi melebar diatas 3 persen.
“Dengan defisit diturunkan ke bawah 3 persen dari PDB, ada potensi pemangkasan anggaran tahun depan. Bagaimana bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, jadi ada tantangan besar untuk target yang tinggi,” katanya.
Ia juga mengungkapkan tantangan lain, yang bisa menjadi risiko untuk RAPBN 2023 yaitu harga komoditas yang turun, dan ikut mempengaruhi sumbangan ekspor terhadap perekonomian, dari segi penerimaan maupun PDB. Meski demikian, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza A. Pujarama mengatakan, penurunan ekspor yang bisa menjadi tantangan di 2023 bisa diantisipasi dengan penguatan hilirisasi sumber daya alam.
Menurut dia, hilirisasi atau pengolahan bahan mineral bisa meningkatkan nilai tambah nilai tambah produk dalam negeri sehingga ekspor beserta penerimaan negara dapat dijaga. Selain itu, implementasi UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga diperkirakan akan meningkatkan penerimaan perpajakan pada 2023.
“Kalau di 2023 terjadi penurunan harga komoditas, diharapkan hilirisasi dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bisa menahan perlambatan penerimaan perpajakan dari sisi ekspor,” ucapnya.
Dengan momentum membaiknya ekonomi yang terjadi, RAPBN 2023 bisa menjadi daya dukung terhadap penguatan kembali perekonomian, yang sempat lesu setelah terdampak oleh pandemi. Namun, kewaspadaan atas risiko juga penting, sehingga APBN juga nantinya bisa berperan sebagai peredam kejut terhadap gejolak, mitigasi risiko maupun menjaga momentum transformasi ekonomi di 2023.** ant
Discussion about this post