Di sini hanya ada lima orang petani, yang rerata menghasilkan 60 kilogram garam per tiga hari, penghasilan mereka bisa mencapai Rp 200 ribu per hari. Para petani garam ini juga tidak perlu jauh-jauh memasarkan hasil produksi garamnya, karena biasanya para pengepul akan datang sendiri untuk membeli dan dipasarkan kembali. Selain itu, tamu atau turis manca negara pun kerap datang membeli, bahkan dibawa balik ke negaranya sebagai oleh-oleh.
“Jadi garam Les ini selain dipasarkan di Bali sendiri, juga sudah masuk pasar global, sudah diekspor dan dibawa langsung oleh para turis,” kata Sri.
Dari pesisir pantai Desa Les, beralih ke Dapur Bali Mula, sebuah tempat santap dengan esensi masakan tradisional khas Bali, lokasinya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu beberapa menit saja.

Resto tradis khas Bali ini diberi rating 4,9 dari 5,0 oleh situs web TasteAtlas. Keunikannya, resto ini tidak menyajikan menu, begitu pula dengan daftar harga, tidak tersedia. Filosofinya adalah makan dengan hati, sewaktu membayar sesuap nasi dan lauk penuh rasa syukur.
Pengunjung hanya perlu berdonasi sebesar Rp 100 ribu saja per orang, berbagai hidangan dari ikan laut segar bisa dinikmati sepuas-puasnya, ditutup lagi dengan puding atau dessert.
Di belakang restoran, terdapat ruangan pembuatan gula cair dari lontar dan arak atau tuak Bali. Di dalam ruangan tersebut, tersusun berbagai peralatan untuk memproses arak dan gula lontar, di antaranya ada wadah tradisional tabung bambu untuk menyimpan dan mendestilasi arak, panci besar, botol kaca untuk menampung hasil penyulingan.
Memasaknya dengan cara tradisional, menggunakan kayu bakar serta alat penyulingan dari bambu.
Bahan bakunya terdiri dari tiga, yaitu kelapa, aren dan buah lontar atau nira ada juga yang menyebutnya nira dua dan buah legend. Disebut dua, menurut Sri, karena memang ada dua jenis, yang satu cewek satunya lagi cowok yang berbentuk memanjang.

“Keduanya bisa menghasilkan nira lontar manis dan yang ada alkoholnya. Yang manis diolah menjadi gula merah atau gula lontar, biasa disebut juruh. Yang mengandung alkohol diolah menjadi arak atau tuak Bali,” jelas Sri.
Pembuatan arak dimulai dari menyadap nira buah lontar oleh petani, kemudian langsung dieksekusi. Proses penyadapan air nira menggunakan serabut kelapa yang telah dibersihkan, airnya didiamkan di dalam bambu, ini disebut arak wayah.
Selanjutnya dimasak sampai mendidih, busa-busanya dibuang. Proses memasaknya sekitar enam jam. Kemudian arak wayah dimasukkan dalam dandang berukuran besar dan ditutup rapat. Dari sinilah dimulai proses penyulingan.
Pada saat penyulingan tersebut, arak akan menguap dan naik untuk disalurkan melalui bambu yang telah disiapkan. Dari ujung saluran bambu tersebut, tersedia botol-botol yang menampung hasil penyulingan berbentuk tetesan air yang telah menjadi arak.
“Satu kali destilasi (proses pemisahan campuran cairan) hanya menghasilkan lima botol saja, tapi berbeda kadar alkoholnya. Tetesan pertama yang paling tinggi kadar alkoholnya, biasanya antara 45 hingga 55 persen. Tetesan selanjutnya masuk ke botol ke dua dengan kadar alkohol lebih rendah, yakni 15 – 20 persen,” ujar Sri.
Arak-arak yang telah ditampung dalam botol tersebut setelah diukur kadar alkoholnya kemudian dimasukkan ke dalam guci dan siap dikonsumsi. Untuk mendapatkan kualitas terbaik, arak ini biasanya disimpan minimal selama satu tahun. “Semakin lama disimpan akan semakin baik,” jelasnya.
Arak Bali selain menjadi minuman tradisional khas Bali, biasanya juga digunakan sebagai obat untuk menghangatkan tubuh, dengan cara dioles.
Tak jauh berbeda dengan arak Bali, pembuatan gula lontar atau juruh juga nyaris sama. Direbus menggunakan kayu bakar selama berjam-jam hingga mengental dan menghasilkan gula lontar.
Juruh Gula Lontar berfungsi seperti madu, biasa digunakan sebagai pemanis alami dalam berbagai hidangan kuliner. Pemanis alami ini juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. **
Penulis/Editor : Yuli.
Discussion about this post