Kerja paksa: Sekitar 1.000 awak kapal perikanan ditemukan berada dalam kondisi kerja paksa di 18 pelabuhan yang tercakup dalam survei ini, atau setara dengan 1,5 persen dari total awak kapal perikanan.
Awak kapal perikanan yang berada dalam kerja paksa ditahan paspor dan buku pelautnya, menghadapi risiko kehilangan pekerjaan, pemotongan gaji atau kekerasan fisik karena menyuarakan keluhan dan tidak dapat pergi karena memiliki utang kepada pemilik kapal, kapten kapal atau agen.
Bentuk-bentuk pemaksaan ini digunakan untuk memaksa awak kapal perikanan bekerja dalam kondisi yang tidak mereka setujui, termasuk lingkungan berbahaya yang membuat mereka takut akan keselamatan dan kesehatan mereka, jam kerja yang kejam dan kondisi kerja yang buruk.
Awak kapal perikanan terkadang direkrut dengan janji-janji palsu dan melaporkan bahwa pemilik kapal atau kapten kapal mengambil keuntungan dari mereka.
Berdasarkan temuan-temuan utama tersebut, survei ini menyoroti sepuluh tindakan prioritas yang perlu dipertimbangkan oleh semua pemangku kepentingan terkait untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi awak kapal perikanan nelayan di sektor perikanan tangkap laut Indonesia:
Menyelaraskan undang-undang nasional dengan standar ketenagakerjaan internasional, khususnya mengenai pekerjaan yang layak di sektor perikanan tangkap laut.
Menegakkan standar perekrutan yang adil sebagaimana diatur dalam undang-undang nasional dan selaras dengan standar internasional.
Mengatasi tingginya tingkat informalitas di sektor ini, dengan mempromosikan dan mewajibkan semua awak kapal perikanan memiliki perjanjian kerja laut. Meningkatkan keterampilan kerja dan penguasaan teknologi bagi awak kapal perikanan.
Memperkuat literasi dan kesadaran awak kapal perikanan akan perlindungan sosial dan menyederhanakan proses pendaftaran dengan mengurangi hambatan administratif untuk mempermudah pendaftaran bagi awak kapal perikanan, terutama yang bekerja di sektor informal.
Meningkatkan dan mengawasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di atas kapal penangkap ikan. Meningkatkan upaya untuk mengatasi hambatan struktural terhadap serikat pekerja dan meningkatkan suara awak kapal perikanan melalui serikat pekerja dan perundingan bersama.
Mengambil langkah-langkah mendesak untuk memajukan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, termasuk penghapusan pekerja anak, kerja paksa dan perdagangan orang.
Menetapkan perjanjian perdagangan untuk memperluas akses ke pasar ekspor, sehingga memungkinkan perusahaan untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih stabil seraya mempromosikan praktik uji tuntas dan keselarasan dengan standar kerja yang layak.
Memperkuat koordinasi data antar lembaga untuk meningkatkan pengawasan, mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti dan memperkuat perlindungan bagi awak kapal perikanan.
Simrin Singh, Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, mengatakan bahwa data yang dapat diandalkan, seperti hasil survei ini, adalah kunci dalam mengatasi kerja paksa di sektor perikanan dan dalam merancang kebijakan dan intervensi yang efisien untuk memastikan kondisi kerja yang layak bagi awak kapal perikanan.
“Sebagai negara maritim, sektor perikanan merupakan salah satu sektor penting bagi Indonesia. Pelaksanaan survei ini merupakan bentuk dukungan ILO dalam menciptakan kondisi kerja yang aman dan layak sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja yang tidak hanya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan awak kapal perikanan tapi juga memberikan perlindungan dari kerja paksa dan perdagangan orang di laut,” ungkapnya.
Nawawi, Kepala Pusat Riset Kependudukan, menekankan pentingnya hasil survei ini untuk digunakan pemerintah Indonesia dalam penyusunan kebijakan terkait kerja layak di sektor perikanan tangkap laut.
“Hasil survei ini memberikan data yang sangat sangat kaya dan penting sebagai referensi untuk perbaikan tata kelola ke depan kondisi pekerja di sektor perikanan tangkap laut yang lebih baik,” ujarnya.**
Discussion about this post